Kamis, 04 Februari 2016

Tasawuf : Ibnu ‘Arabi dan Ajaran-ajarannya

  1. BIOGRAFI IBNU ‘ARABI
1.     Riwayat Hidup Ibnu ‘Arabi

            Nama lengkap Ibnu Arabi[1] adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-tha’I Al-Haitami. Namanya biasanya disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla . Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy. Pada tahun 603 hijriah beliau Ibn ‘Arabi telah meninggal Dunia di Damaskkus dan beliau dimakamkan di kaki Bukit Qasium.
            2..Pendidikan
            Setelah berumur 30 tahun,  ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Di antara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak memengaruhi ajaran Ibnu Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan Ibnu Rusyd, filsuf muslim dan tabib istana dinasti Berbar dari Alomohad, di Kordova. Ia pun di kabarkan mengunjungi Al-mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibnu Masarrah,  seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh banyak memperoleh banyak pengaruh di Andalusia.
  1. AJARAN-AJARAN TASAWUF IBNU ARABI
  1. Wahdatul Wujud (kesatuan wujud).
            Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdatul wujud. Meskipun demikian, istilah wahdatul wujud ini bukan berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.
            Menurut Ibnu Arabi, wujud[2]semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq  dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara keduanya ada perbedaan, hal ini dilihat dari sudut pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu Arabi berikut :
“ Mahasuci Tuhan yang telah menjdikan segala sesuatu dan Dia adalah hakikat segala sesuatu itu. ”
            Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada peerbedaan antara wujud yang qodim (terdahulu) dengan yang huduts (baru). Tidak ada perbedaan antara ‘abid (penyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu.
Untuk pernyataan tersebut, Ibnu Arabi mengemukakan melalui syairnya :
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba
Demi syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf?
Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga
Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?”
            Kalau antara khaliq dan makhluq bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu Arabi menjawab, sebab manusia memandangnya tidak dari sisi satu, tetapi memandang dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu, dan makhluq dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti dapat mengetahui  hakikat keduanya, yaitu Dzat-Nya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Sehubungan dengan hal ini, Ibnu Arabi pun menyatakan dalam syairnya[3] :
“ Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluq, maka pikirkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan bedakan, sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar “
Dalam syair tersebut, terkesan bahwa wujud Tuhan juga merupakan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme.
            Menurut Henry  C. Theissen, definisi panteisme adalah teorimyang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasiatau bagian dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam). Tuhan adalah semuanya, dan semuanya adalah Tuhan.
Selanjutnya, Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam. Menurutnya, alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki, dan alam ini tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu, alam ii merupakan tempat tajalli  dan mazhar (penampakan) Tuhan.
            Menurut Ibnu Arabi , ketika Allah SWT menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan kata lain, alam ini  merupakan mazhar dari asma dan sifat Allah SWT yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya akan kehilangan maknanya dan senantiasa dalam bentuk dzatyang tinggal dal kesendirian-Nya yang mutlak dan tidak dikenal oleh siapapun.
Ibnu Arabi menjelaskan hal tersebut dengan unkapan syairnya :
“Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, maka iapun menjadi banyak”
Untuk memperkuat pendiriannya, Ibnu Arabi merujuk sebuah hadits qudsi  
Artinya :
Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal maka kuciptakan makhluq. Lalu dengan itulah mereka mengenal aku.”
  1. Al-Hakikat Muhammadiyyah
Konsep ini merupakan lanjutan atau cabang dari konsep “wahdatul wujud”.
Menurut[4] Ibnu Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta yang melalui proses penciptaan sebagai berikut :

1 . Tajalli  Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
2 . tanazzul  Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam realitas-realitas rohaniah , yaitu alam arwah yang mujarrad (menyendiri).
3 . Tanazzul  pada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4 . tanazzul  Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal  (ide) atau khayal
5 . Alam materi , yaitu alam indrawi.
            Berhubungan dengan hal tersebut, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak tidak bisa dipisahkan dengan ajaran hakikat Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dn tidak berhajat pada suatu apapun;
2. Wujud hakikat Muhammadiyyah merupakan emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan. Dari sini, kemudian muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapan seperti yang telah disebutkan di atas.
            Dengan demikian, Ibnu Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari yang tiada (cretio ex nihilio).Selanjutnya , ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dari berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada diri para Nabi semenjak Adam sampai Muhammad, dan terealisasikan dari Muhammad pada diri pengikutnya dari kalangan para wali dan insan kamil (manusia sempurna). Bagi Ibnu Arabi, tegaknya alam ini karena adanya manusia sempurna, dan alam ini akan tetap terpelihara selama manusia sempurna masih ada.
            Ibnu Arabi membedakan manusia manusia sempurna menjadi dua : Pertama, manusia sebagai kedudukannya sebagai manusia baru. Kedua, manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia abadi. Karena itu, dalam deskripsinya, manusia sempurna adalah manusia baru yang abadi, yang muncul bertahan dan abadi.
Ibnu Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyyah dengan quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.
  1. Wahdatul Adyan[5] (kesatuan agama)
Konsep ini juga merupakan kelanjutan atau cabang dari konsep wahdatul wujud.
Ibnu Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyyah. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah SWT.
Dalam lirik sya’irnya ia mengucapkan :
“Dulu tidak kusenangi temanku jika agamanya lain dari agamaku
Kini kalbuku bisa menampung semua
Ilalang perburuan kijang atau biara pendeta
Kuil pemuja berhala atau ka’bah
Lauh taurah dan mushaf Al-Qur’an
Aku hanya memeluk agama cinta kemanapun kendaraan-kendaraanku menghadap.
Karena cinta adalah agamaku dan imanku”
Kemudian ucapannya yang lain pula :
“Terhadap Khaliq, makhluq pun memeluk semua yang dipercaya
Dan aku memeluk semua yang mereka percaya”
Berdasar ungkapan-ungkapan di atas, bisa diambil makna bahwa semua yang disembah oleh semua penganut agama adalah Dia Yang Maha Esa. Adapun patung, batu, api, ka’bah ataupun apapun namanya hanya sekedar lambang (simbol) saja. Ibnu Arabi mengakui Ka’bah sebagai kiblat, tapi bukanlah syarat sahnya shalat. Oleh karenanya, tidaklah patut berselisih antar agama karena tujuan dan isinya hanya satu yaitu menyembah dan mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.
  1. Ibn ‘Arabi Manusia Sempurna dan Manusia Hewani
Ibn Arabi secara mendetail menjelaskan pembentukan[6] universum dipandang dari sisi empat elemen. Setelah menjelaskan sejauh kemunculan tumbuh-tumbuhan dan binatang, dia menyimpulkan sebagai berikut, bahwa manusia adalah bayangan dari cahaya-cahayaTuhan yang diibaratkan dengan manusia primordial. Ini semua adalah penampakan cahaya-cahaya Tuhan secara berturut-turut menyinarinya dari semua sisi. Oleh karenanya banyak bayangan-bayangan sesuai dengan jumlah penampakan terdapat banyak bayangan sesuai dengan jumlah penampakan atau manifetasi Tuhan, karena setiap penampakan Tuhan mempunyai cahaya yang menghasilkan sebuah bayangan bentuk manusia di dalam eksitensi material (wujud unsurt). Dari pernyataan Ibnu Arabi kami dapat menyimpulkan bahwa:
1.     Diantara manusia, hanyalah mereka yang mencapai tingkat kesempurnaan yang dapat disebut sebagai manusia sempurna.
2.     Selebihnya adalah manusia hewani, yang berbeda dengan berbagai hewan lainnya hanya melalui ciri-ciri khusus yang merupakan sifat-sifat-Nya, sebagai mana kuda berbeda dengan hewan lainnya melalui ciri-ciri khususnya.
3.     Perbedaan antara manusia hewani dengan manusia sempurna berada pada kemampuan manusia sempurna untuk memanipulasi (tasrif) nama-nama Tuhan.
C.   KELEBIHAN-KELEBIHAN IBNU ARABI
                  Ada beberapa kelebihan yang telah beliau miliki, antara lain adalah:
1)     Di kalanganmuda[7], beliau bertemu dengan dua wanita Tokoh Sufi, yang bernama Mursyaisyah dan Fatimah Hurthubiyah. Dari keduanya mendapatkan nasehat yang sangat berharga bagi kehidupannya dan dapat memberikan pengarahan dalam perjalanan hidupnya, lebih-lebih dalam bina kerohanian.
2)     Beliau mendapat Ilham dari Allah saat beliau berada di Mekkah supaya menulis perjalanan pengembaraannya dan pengalamannya yang di alami di dunia ke Sufian. Akhirnya beliau tulis dan di beri judul “Futuhat Al-Makiyyah”.
3)     Sebuah kitab yang berjudul “Tarjuman Al-Asywaq” adalah buku yang telah di karang oleh Ibnu Arabi atas ilham dari pertemuannya dengan seorang wanita cantik seorang tokoh sufi dari Isfahan saat beliau berada di Mekkah.
4)     Beliau juga bertemu dengan Nabi Khidir a.s. dan Ibnu Arabi langsung di angkat menjadi muridnya saat bertemu dalam pengembaraannya.

D.   DASAR-DASAR PEMIKIRAN IBNU ARABI
            Sebagai seorang tokoh sufi[8], maka beliau telah mempunyai beberapa dasar-dasar pemikiran yang telah di kembangkan, antara lain:
1)     Menurut Ibnu Arabi, alam semesta ini tidak dapat di pisahkan dengan sejarah Nabi Adam. Terjadinya limpahan pertama dalam bentuk Tajalli (Menampakkan diri). Seperti cermin menerima gambaran manusia tanpa terpisah antara gambar dan cermin.
2)     Bagi Ibnu Arabi bahwa manusia bagi Tuhan itu bagaikan mata dengan mata. Dimana mata dapat dilihat. Penglihatan ini di ibaratkan pandangan hingga di namakan manusia.
3)     Wujud semesta bagi Ibnu Arabi adalah satu Jua, dan apabila kita melihat dalam jumlah yang tak terhitung, maka kita menggunakan acuan-acuan indera dan akal semata.
4)     Menurut Ibnu Arabi, asal dari segala wujud dan sebab tiap yang ada adalah limpahan Tuhan yang tak henti-hentinya, yang di sebut juga Al Khalqun jadid.
E.    HASIL KARYA IBNU ARABI
Sebagai seorang tokoh sufi[9], ibnu arabi tela mempunyai beberapa karya yang ditulisnya yaitu:
1)     Futuhat Al-Makiyah, kitab ini ditulis oleh beliau setelah mendapat Ilham dari Allah untuk menulis pengembaraannya pengalaman sufi.
2)     Terjumah Al-Asywaq, kitab ini di tulis saat bertemu dengan seorang Tokoh sufi wanita yang cantik dari Isfaham.
3)     Gushushul Hikamh, kitab ini banyak menguraikan hakekat keNabian masing-masing. Tiap fase di beri nama Nabi sebanyak 7, ialah
a)     Al-Ilahiyah Fil fashil Adami.
b)     Al-Nafsiyah
c)     Al-Shubbuhiyah
d)     Al-Qudsiyah
e)     Al-Haqqiyah
f)      Al-Aliyah
g)     Al-Fardiyah
4)               Fushush al-Hikam[10], konon setiap kali murid Ibnu Arabi selesai membaca pasal yang sama dalam kitab ini ada inspirasi baru, dan konon kitab ini di berikan oleh Nabi dari alam mimpi. Dan beberapa yang lainnya:
· Masyahid Al-Asrar
· Mathali’ Al-Anwar Al-Ilahiyyah
· Hilyat Al-Abdal
· Kimiya As-Sa’adat
· Muhadharat Al-Abrar
· Kitab Al-Akhlaq
· Majmu’ Ar-Rasa’ilAl-Illahiyyah
· Mawaqi’ An-Nujum
· Al-Jam’ wa At-Tashil fi Haqa’iq At-Tanzil
· Al-Ma’rifah Al-Ilaiyyah
· Al-Isra’ ila Al-Atsna
F.    KRITIK TERHADAP BEBERAPA PENYIMPANGAN IBNU ARABI.
            Wahdatul Wujud yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini merupakan perwujudan atau penampakan Dzat Ilahi (Allah ‘azzawaJalla).Dalam[11] kitabnya Al-Futuhat Al-makiyyah (seperti yang dinukilkan oleh Dr.Taqiyuddin Al-hilali dalam kitabnya Al-hidayyatul Hadiyah hlm.43) dia menyatakan keyakinan kufur dengan ucapannya,
“Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba duhai gerangan, siapakah yang mukallaf (dibebani syariat)?
Jika kau katakan:hamba,maka dia adalah Tuhan
Atau kau katakan:Tuhan,maka mana mungkin Tuhan dibebani taklif?.”
Dalam kitabnya yang lain, Fushushul Hikam (.hlm.192), dimengatakan,”sesungguhnya, orang-orang yang menyembah anak sapi ,tidak lain yang mereka sembah,kecuali Allah.”
            Meskipun demikian ,beberapa ahli tasawuf bahkan memberikan gelar kehormatan yang tinggi kepadanya, seperti gelar Al-‘arifBillah (orang yang mengenal ‘azzawajalla dengan sebenarnya), Al-quthb Al-akbar (pemimpin para wali yang paling agung), Al-misk Al-adzfar (minyak kesturi yang paling harum), dan Al-kibrit Al-ahmar (permata yang merah berkilau). Padahal orang ini terang-terangan memproklamasikan beberapa keyakinan-keyakinan yang rusak, seperti pujian dia terhadap fir’aun dan keyakinannya bahwa fir’aun mati diatas keimanan , celaan dia terhadap Nabi Harun a.s. yang mengingkari kaumnya yang menyembahnya sapi yang jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an,  dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi Isa sebagaiTuhan. Seandainya tidak mengkhususkannya, mereka tidak dikafirkan.
            Dalam pernyataan yang lain, dalam kitab fushushul Hikam, ia mengatakan bahwa Rasulullah  yang memberikan padanya kitab tersebut dan Rasul berkata : ”bawalah dan sebarkan kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”. Maka Ibnu Arabi berkata“maka akupun segera mewujudkan keinginan Rasulullah itu seperti yang beliau tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang”. Kemudian berkata : “kitab ini dari Allah, maka dengarkanlah! Dan kepada Allah kembalilah”.
            Dan mengenai teori Wahdatul Widyan (kesatuan agama), jelas-jelas pernyataan Ibnu Arabi bertentangan dengan Al-Qur’an.  Pernyataannya adalah bahwa semua agama itu bersumber dari Nur Muhammad dan konsekuensinya bahwa semua agama itu tunggal milik Allah Sementara patung, salib, Ka’bah, dan sebagainya merupakan simbol saja. Ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an QS Al-Kaafirun ayat 6 : “lakumdiinukumwaliyadiin: bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Dalam ayat ini secara jelas Allah menegaskan bahwa Agama Islam itu berbeda dengan agama lain.



[1] Diambil dari buku Akhlak Tasawuf karya Prof. Dr. Rosihon Anwar M.Ag, hlm. 279
[2] Prof. Dr. M. Solihin M.Ag., Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, hlm.175-176
[3] Masataka Takeshita, Manusia Sempurna menurut Konsepsi Ibn ‘Arabi, hlm 131-133
[4] Prof. Dr. M. Solihin M.Ag., Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, hlm.182
[5] Ibid, 184
[6] Masataka Takeshita, Manusia Sempurna menurut Ibn ‘Arabi, hlm. 158-159
[7] Labib MZ, Kisah perjalanan hidup tokoh sufi terkemuka, hlm.245
[8] Ibid, hlm.246
[9] Ibid, hlm. 247
[10] Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern, hlm.37
[11] Drs. Tamami, M.Ag, Pengantar Ilmu Tasawuf, hlm.  41-44

1 komentar: