Rabi’ah al-Adawiyah
memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah.
Diberi nama Rabi’ah karena beliau adalah anak ke-empat karena orang tuanya
mrmiliki 3 orang putri sebelum beliau lahir. Rabi’ah lahir di Basrah, Iraq
tahun 95 H. Rabi’ah termasuk glongan suku Atiq yang memiliki landasan silsilah
kepada Nabi Nuh.
Dikisahkan saat malam
kelahirannya, kedua orang tuanya tidak memiliki apapun untuk menghormati
kehadiran putrinya. Namun malam itu ayahnya bermimpi berjumpa dengan Baginda
Rasulullah Saw yang mengatakan kepadanya agar jangan bersedih karena akan lahir
dari rahim istrinya seorang wanita yang kelak menjadi wanita yang agung dan
berkepribadian mulia.
Rabi’ah dibesarkan di
keluarga yang sangat sederhana dengan penuh ke-zuhud-an. Rabi’ah seperti anak
biasa pada umumnya dan tumbuh dewasa secara wajar, hanya saja kecerdikan dan
kelincahannya lebih unggul dibandingkan teman sebayanya. Terlihat juga aura
pancaran sinar ketaqwaan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya.
Saat berumur 10 tahun, Rab’ah telah menghafal keseluruhan isi Al-Qur’an, ini
merupakan suatu keistimewaan di dalam dirinya.
Pendidikan yang didapat
oleh Rabi’ah Al-Adawiyah adalah pendidikan secara informal yang diberikan langsung
oleh ayahanya. Biasanya ia dibawa oleh ayahnya kepada suatu musholla di
pinggiran kota Basrah yang jauh dari keramaian dan bisingan aktivitas kehidupan
di kota tersebut. Disini ayah Rabi’ah sering berdo’a dan bermunajat kepada
Allah Swt. Karena jauh dari keramaian maka ayah Rabi’ah dapat beribadah dengan
sangat khusyu dan konsentrasi pemikiran pada kekuasaan Allah Swt. Pola
kehidupan keluarga Rabi’ah yang menegakkan ketaqwaan sangat berpengaruh
terhadap pendidikan Rabi’ah baik secara intelektual maupun secara spiritual.
Ketika Rabi’ah beranjak
pada keremajaannya, Kedua orang tua Rabi’ah meninggal dunia. Hal ini
menyebabkan semakin krisisnya materi Rabi’ah dan kakak-kakaknya. Kondisi ini
menyebabkan mereka harus meninggalkan gubuknya dan mulai mencari pekerjaan.
Rabi’ah dan saudaranya yang lain terpencar satu sama lain untuk berkelana ke
berbagai daerah agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Di perjalanan,
Rabi’ah ditangkap oleh kawanan perampok dan dijual sebagai seorang budak dengan
harga yang sangat murah, yakni sebesar 6 dirham.
Kehidupan Rabi’ah
terikat dalam belenggu perbudakan di setiap hari yang ia lalui ketika itu.
Tuannya sangat kejam dan sering memperlakukan Rabi’ah dengan bengis tanpa
prikemanusiaan namun Rabi’ah tetap menjalaninya dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan terhadap takdir yang telah ditentukan Allah kepadanya. Rabi’ah rutin
beribadah siang dan malam. Dari mulutnya selalu terdengar lantunan dzikir dan
istighfar setiap waktu. Suatu malam, Tuannya mendengarkan rintihan dan do’a yang
dibacakan oleh Rabi’ah sehingga hatinya tersentuh lalu memerdekakan Rabi’ah.
Setelah merdeka,
Rabi’ah tetap istiqamah dalam peribadatannya dan memanfaatkan kemerdekaannya
itu untuk diam diri di masjid-masjid dan majelis agama. Ia memilih menjadi seorang
sufi yang merenungi hakikat kehidupan. Tidak ada sesuatupun yang memalingkannya
dari mengingat Alllah Swt.
Ketika mulai beranjak
dewasa, Rabi’ah memenuhi janjinya untuk terus beribadah kepada Allah sampai
akhir hayatnya. Ia rajin melakukan sholat tahajud dan sholat malam lainnya
hingga terbit fajar. Rabi’ah hanya mencari kebahagiaan abadi di akhirat kelak
tanpa tergiur hatinya kepada kesenangan dunia yang fana. Hatinya hanya tertuju
pada Sang Khalik sehingga menimbulkan kecintaanya yang amat mendalam dan
beramal semata-mata untuk mendapatkan ridhaNya. Ro’biah memilih hidup menjadi
seorang yang zuhud dan memberikan hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Allah
semata. Ia tidak pernah ingin menikah walaupun ia merupakan wanita yang sangat
cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran lelaki yang meminangnya.
Ketampanan, harta, tahta, derajat, tidak akan memalingkan cinta kasihnya yang hakiki kepada Allah Swt.
Rabi’ah al-Adawiyah
berusia kurang lebih 90 tahun hingga menjelang ajalnya. Bukan hanya umur yang
panjang melainkan umur yang dapat membawa berkah bagi semua orang
disekelilingnya. Sampai sekarang sangat terasa wangi ajarannya dan hikmahnya
yang menerangi hati setiap insan.
Ahli sejarah berbeda
pendapat tentang tahun wafatnya dan tempat pemakaman Rabi’ah al-Adawiyah, namun
mayoritas ahli sejarah meyakini wafatnya Rabi’ah al-Adawiyah adalah tahun 185H/801M
dan tempat pemakamannya adalah di rumah kelahirannya, yang berada di kota
Basrah.
Referensi:
-Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb Al-Illahi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002. hal.26
-Javad Nurbakhsh,
Wanita-Wanita Sufi, Bandung:Mizan,1995. hal.26
-M.Fudoli Zaini,
Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya, Surabaya: Risalah Gusti,2000.
Hal.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar