Kamis, 04 Februari 2016

Biografi : Robi’atul Adawiyah

Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Diberi nama Rabi’ah karena beliau adalah anak ke-empat karena orang tuanya mrmiliki 3 orang putri sebelum beliau lahir. Rabi’ah lahir di Basrah, Iraq tahun 95 H. Rabi’ah termasuk glongan suku Atiq yang memiliki landasan silsilah kepada Nabi Nuh.

Dikisahkan saat malam kelahirannya, kedua orang tuanya tidak memiliki apapun untuk menghormati kehadiran putrinya. Namun malam itu ayahnya bermimpi berjumpa dengan Baginda Rasulullah Saw yang mengatakan kepadanya agar jangan bersedih karena akan lahir dari rahim istrinya seorang wanita yang kelak menjadi wanita yang agung dan berkepribadian mulia.

Rabi’ah dibesarkan di keluarga yang sangat sederhana dengan penuh ke-zuhud-an. Rabi’ah seperti anak biasa pada umumnya dan tumbuh dewasa secara wajar, hanya saja kecerdikan dan kelincahannya lebih unggul dibandingkan teman sebayanya. Terlihat juga aura pancaran sinar ketaqwaan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya. Saat berumur 10 tahun, Rab’ah telah menghafal keseluruhan isi Al-Qur’an, ini merupakan suatu keistimewaan di dalam dirinya.

Pendidikan yang didapat oleh Rabi’ah Al-Adawiyah adalah pendidikan secara informal yang diberikan langsung oleh ayahanya. Biasanya ia dibawa oleh ayahnya kepada suatu musholla di pinggiran kota Basrah yang jauh dari keramaian dan bisingan aktivitas kehidupan di kota tersebut. Disini ayah Rabi’ah sering berdo’a dan bermunajat kepada Allah Swt. Karena jauh dari keramaian maka ayah Rabi’ah dapat beribadah dengan sangat khusyu dan konsentrasi pemikiran pada kekuasaan Allah Swt. Pola kehidupan keluarga Rabi’ah yang menegakkan ketaqwaan sangat berpengaruh terhadap pendidikan Rabi’ah baik secara intelektual maupun secara spiritual.

Ketika Rabi’ah beranjak pada keremajaannya, Kedua orang tua Rabi’ah meninggal dunia. Hal ini menyebabkan semakin krisisnya materi Rabi’ah dan kakak-kakaknya. Kondisi ini menyebabkan mereka harus meninggalkan gubuknya dan mulai mencari pekerjaan. Rabi’ah dan saudaranya yang lain terpencar satu sama lain untuk berkelana ke berbagai daerah agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Di perjalanan, Rabi’ah ditangkap oleh kawanan perampok dan dijual sebagai seorang budak dengan harga yang sangat murah, yakni sebesar 6 dirham.

Kehidupan Rabi’ah terikat dalam belenggu perbudakan di setiap hari yang ia lalui ketika itu. Tuannya sangat kejam dan sering memperlakukan Rabi’ah dengan bengis tanpa prikemanusiaan namun Rabi’ah tetap menjalaninya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan terhadap takdir yang telah ditentukan Allah kepadanya. Rabi’ah rutin beribadah siang dan malam. Dari mulutnya selalu terdengar lantunan dzikir dan istighfar setiap waktu. Suatu malam, Tuannya mendengarkan rintihan dan do’a yang dibacakan oleh Rabi’ah sehingga hatinya tersentuh lalu memerdekakan Rabi’ah.

Setelah merdeka, Rabi’ah tetap istiqamah dalam peribadatannya dan memanfaatkan kemerdekaannya itu untuk diam diri di masjid-masjid dan majelis agama. Ia memilih menjadi seorang sufi yang merenungi hakikat kehidupan. Tidak ada sesuatupun yang memalingkannya dari mengingat Alllah Swt.
Ketika mulai beranjak dewasa, Rabi’ah memenuhi janjinya untuk terus beribadah kepada Allah sampai akhir hayatnya. Ia rajin melakukan sholat tahajud dan sholat malam lainnya hingga terbit fajar. Rabi’ah hanya mencari kebahagiaan abadi di akhirat kelak tanpa tergiur hatinya kepada kesenangan dunia yang fana. Hatinya hanya tertuju pada Sang Khalik sehingga menimbulkan kecintaanya yang amat mendalam dan beramal semata-mata untuk mendapatkan ridhaNya. Ro’biah memilih hidup menjadi seorang yang zuhud dan memberikan hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Allah semata. Ia tidak pernah ingin menikah walaupun ia merupakan wanita yang sangat cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran lelaki yang meminangnya. Ketampanan, harta, tahta, derajat, tidak akan memalingkan cinta kasihnya  yang hakiki kepada Allah Swt.

Rabi’ah al-Adawiyah berusia kurang lebih 90 tahun hingga menjelang ajalnya. Bukan hanya umur yang panjang melainkan umur yang dapat membawa berkah bagi semua orang disekelilingnya. Sampai sekarang sangat terasa wangi ajarannya dan hikmahnya yang menerangi hati setiap insan.
Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun wafatnya dan tempat pemakaman Rabi’ah al-Adawiyah, namun mayoritas ahli sejarah meyakini wafatnya Rabi’ah al-Adawiyah adalah tahun 185H/801M dan tempat pemakamannya adalah di rumah kelahirannya, yang berada di kota Basrah.

Referensi:
-Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb Al-Illahi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. hal.26

-Javad Nurbakhsh, Wanita-Wanita Sufi, Bandung:Mizan,1995. hal.26

-M.Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya, Surabaya: Risalah Gusti,2000. Hal.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar