Abu Yazid Al-Bustami adalah orang pertama yang memopulerkan sebutan
al-fana dan al-baqa dalam tasawuf. Ia lahir di daerah Bustam tahun 188-261
H/874-947 M. Sebelum di kenal sebagai tokoh sufi, Abu Yazid merupakan seorang faqih dari madzhab Hanafi dan salah satu
gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu
hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Adapun
landasan al-fana dan al-baqa itu pada Surat Yusuf Ayat 31. Allah berfirman
“Maka ketika perempuan itu
mendengar cercaan mereka, diundangnyalah perempuan-perempuan itu dan
disediakannya tempat duduk bagi mereka dan kepada masing-masing mereka
diberikan pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkta (kepada Yusuf).’Keluarlah
(tampakkan dirimu) kepada mereka.’ Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya,
mereka terpesona kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka (tanpa sadar) melukai
tangannya sendiri. Seraya berkata, ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Ini benar-benar malaikat uyang mulia.’” (Q.S.Yusuf:31)
Dari ayat tersebut gambaran ketidaksadaran manusia yang hanya
melihat sesama makhluk. Apalagi yang dirasakan para arif yang telah melihat Allah, lenyaplah pengetahuan selain-Nya.
Karena Allah bukanlah makhluk tetapi pencipta alam semesta. Dari sinilah Abu
Yazid mengawali al-fana dan al-baqa.
Fana dalam pengertian harfiah adalah
keadaan dari syai’ (sesuatu) yang
tidak berakhir, yakni tetapnya suatu keadaan telah berakhir. Abu Yazid
mengartikan fana adalah sirnanya
tabiat kemanusiaan bersama segala identias dan bekasnya ke dalam wujud Tuhan.
Menurut Ibnu Arabi adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam
fenomena, dan bahkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Berarti bahwa dunia akan
mencapai fana dan masa depan makhluk
tetap dalam baqa. Fana tidak
dipandang sebagai sifat dan bukanlah menghilangkan
esensi. Dalam kehidupan di dunia ini seluruhnya hakikatnya fana karena menjadi bukti kekuasaan Allah.
Baqa adalah yang bukan fana, tidak
menjadi fana, dan karenannya tidak
menjadi fana seperti halnya neraka
dan surga. Tidak selamanya baqa identik
hanya Allah, namun juga berlaku bagi makhluk. Kaum Mutakallimin (ahli teologi skolastik Islam) menganggap bahwa fana adalah proses menghilangnya syai’ sedangkan baqa adalah keabadian sifat-sifat
tersebut.
Bagi sufi, fana adalah
tidak dikenalinya sfat-sifat kemanusiaan oleh dirinya sendiri. Dan baqa adalah pengenalan hal serupa sebagai sifat
tuhan. Ketika seorang telah fana,
bagi dirinya sendiri tidak merasa ada tetapi hanya menyadari sekedar “yang
mewujudkan dan perwujuan”. Analogi gambarannya, selama masih merasa hadir dalam
pandangan, maka tuhan seolah tidak ada. Misalnya, apabila sedang menggambar
ketika terfokus pada hasil gambar maka akan kehilangan perhatian pada pensil
yang dipegang, begitupun sebaliknya.
Di dalam fana, arti
penting yang lenyap di dalam kesadaran arif.
Dan materi jasad tidaklah lenyap. Sebagian pendapat mengatakan bahwa fana adalah melenyapnya sesuatu di dalam
pengetahuan, bukan lenyapnya jasad secara nyata. Sedangkan sebagian yang lain
berpendapat, bahwa hal itu berarti hilangnya pandangan. Sebagian pendapat yang
lainnya lagi, bahwa hal tersebut berkaitan dengan hilangnya “Ke-Aku-an” atau
ego seorang hamba dalam “ke-Esa-an” Tuhan. Di dalam baqa manusia menemukan segalanya sebagai manifestasi miliknya.
Terbatasnya kesadaran hamba hilang di dalam kesadaran tidak terbatas dari
tuhan, kesadaran tentang tuhan melandasi kesadaran dari hamba. Jalaluddin Rumi
menyatakan
Kesadaran
dari tuhan
Lebur
dalam kesaaran sufi
Bagaiamana
si awam meyakininya
Pengetahuan
sufi adalah garis
dan
pengetahuan Tuhan adalah titik
Eksistensi
garis
amat
tergantung pada eksistensi titik
oleh karenannya, sufi kemudian menemukan dirinya tiada dan dirinya
tiada dalam keabadian. Ini adalah kesadaran kosmis, yang disebutkan dalam
Al-Quran sebagai maqam mahmuda, yang
disediakan bagi Rasulnya Saw. dan akan memberikan kesaksian di hari kiamat.
Fana ada dua jenis, yaitu fana di dalam esensi sebagaimana lenyapnya es dalam air. Dan fana di dalam sifat sebagaimana
lenyapnya besi di dalam api. Pada peristiwa fana
yang pertama, maka hamba menjadi Dia,
yakni hanya Nabi Muhammad Saw. dan tidak ada yang lain. Karena hanya beliaulah
realitas pengenalan pertama Tuhan sebagai diri-Nya. Fana yang kedua, hamba
menjadi seperti Diri-Nya.
Untuk sampai keadaan demikian, harus menempuh tingkatan fana yang
mendahuluinya, yaitu sebagai berikut.
1.
Fana ‘an al-Mukhalafah (sirna dari
segala dosa). Pada tahap ini, sufi memandang semua tindakanyang bertentangan
dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan. Merupakan langkah pengakuan
sufi kepada wujud tunggal Allah yang menjadi sumber segalanya termasuk yang
paling buruk.
2.
Fana ‘an al-‘ibdal (sirna dari
tindakan-tindakan hamba). Pada tahap ini, sufi menyadari bahwa segala tindakan
manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta.
3.
Fana ‘an shifat al-makhludin (sirna dari
sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini, sufi menyadari bahwa segala atribut dan
kualitas wujud mumkin tidak lain
adalah milik Allah.
4.
Fana ‘an al-dzat (sirna dari
personalitas diri). Pada tahap ini, Sufi menyadari noneksistensi dirinya,
sehingga yang benar-benar aa di balik dirinya ialah Dzat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
5.
Fana ‘an kull al-‘alam (sirna dari
segenap alam). Pada tahap ini, Sufi menyadari bahwa segenap aspek alam
fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal. Yang benar-benar ada hanya realitas
yang mendasari fenomena.
6.
Fana ‘an kulluma siwa ‘illah (sirna dari
segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini, sufi menyadari bahwa dzat
yang betul-betul ada hanya Allah.
Manusia yang telah mencapai tingkatan ini, sering kali mengeluarkan
ucapan–ucapan yang berisikan kepercayaan
bahwa hamba dan Tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang
dinamakan Madzhab Hulul atau
perpaduan. Yaitu, aktifnya potensi lahutiyyah
manusia naik dan bersatu dengan
Nasutiyyah Allah yang juga merupakan hasil fana dan baqa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar