Kamis, 04 Februari 2016

Tasawuf : Al-Fana dan Al-Baqa

Abu Yazid Al-Bustami adalah orang pertama yang memopulerkan sebutan al-fana dan al-baqa dalam tasawuf. Ia lahir di daerah Bustam tahun 188-261 H/874-947 M. Sebelum di kenal sebagai tokoh sufi, Abu Yazid merupakan seorang faqih dari madzhab Hanafi dan salah satu gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Adapun landasan al-fana dan al-baqa itu  pada Surat Yusuf Ayat 31. Allah berfirman
Maka ketika perempuan itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah perempuan-perempuan itu dan disediakannya tempat duduk bagi mereka dan kepada masing-masing mereka diberikan pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkta (kepada Yusuf).’Keluarlah (tampakkan dirimu) kepada mereka.’ Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya, mereka terpesona kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka (tanpa sadar) melukai tangannya sendiri. Seraya berkata, ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Ini benar-benar malaikat uyang mulia.’” (Q.S.Yusuf:31)
Dari ayat tersebut gambaran ketidaksadaran manusia yang hanya melihat sesama makhluk. Apalagi yang dirasakan para arif yang telah melihat Allah, lenyaplah pengetahuan selain-Nya. Karena Allah bukanlah makhluk tetapi pencipta alam semesta. Dari sinilah Abu Yazid mengawali al-fana dan al-baqa. 

Fana dalam pengertian harfiah adalah keadaan dari syai’ (sesuatu) yang tidak berakhir, yakni tetapnya suatu keadaan telah berakhir. Abu Yazid mengartikan fana adalah sirnanya tabiat kemanusiaan bersama segala identias dan bekasnya ke dalam wujud Tuhan. Menurut Ibnu Arabi adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Berarti bahwa dunia akan mencapai fana dan masa depan makhluk tetap dalam baqa. Fana tidak dipandang sebagai sifat dan bukanlah menghilangkan esensi. Dalam kehidupan di dunia ini seluruhnya hakikatnya fana karena menjadi bukti kekuasaan Allah.

Baqa adalah yang bukan fana, tidak menjadi fana, dan karenannya tidak menjadi fana seperti halnya neraka dan surga. Tidak selamanya baqa identik hanya Allah, namun juga berlaku bagi makhluk. Kaum Mutakallimin (ahli teologi skolastik Islam) menganggap bahwa  fana  adalah proses menghilangnya syai’ sedangkan baqa  adalah keabadian sifat-sifat tersebut.

Bagi sufi, fana adalah tidak dikenalinya sfat-sifat kemanusiaan oleh dirinya sendiri. Dan baqa  adalah pengenalan hal serupa sebagai sifat tuhan. Ketika seorang telah fana, bagi dirinya sendiri tidak merasa ada tetapi hanya menyadari sekedar “yang mewujudkan dan perwujuan”. Analogi gambarannya, selama masih merasa hadir dalam pandangan, maka tuhan seolah tidak ada. Misalnya, apabila sedang menggambar ketika terfokus pada hasil gambar maka akan kehilangan perhatian pada pensil yang dipegang, begitupun sebaliknya.

Di dalam fana, arti penting yang lenyap di dalam kesadaran arif. Dan materi jasad tidaklah lenyap. Sebagian pendapat mengatakan bahwa fana adalah melenyapnya sesuatu di dalam pengetahuan, bukan lenyapnya jasad secara nyata. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat, bahwa hal itu berarti hilangnya pandangan. Sebagian pendapat yang lainnya lagi, bahwa hal tersebut berkaitan dengan hilangnya “Ke-Aku-an” atau ego seorang hamba dalam “ke-Esa-an” Tuhan. Di dalam baqa manusia menemukan segalanya sebagai manifestasi miliknya. Terbatasnya kesadaran hamba hilang di dalam kesadaran tidak terbatas dari tuhan, kesadaran tentang tuhan melandasi kesadaran dari hamba. Jalaluddin Rumi menyatakan
Kesadaran dari tuhan
Lebur dalam kesaaran sufi
Bagaiamana si awam meyakininya
Pengetahuan sufi adalah garis
dan pengetahuan Tuhan adalah titik
Eksistensi garis
amat tergantung pada eksistensi titik 
oleh karenannya, sufi kemudian menemukan dirinya tiada dan dirinya tiada dalam keabadian. Ini adalah kesadaran kosmis, yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai maqam mahmuda, yang disediakan bagi Rasulnya Saw. dan akan memberikan kesaksian di hari kiamat.

Fana  ada dua jenis, yaitu fana di dalam esensi sebagaimana lenyapnya es dalam air. Dan fana di dalam sifat sebagaimana lenyapnya besi di dalam api. Pada peristiwa fana  yang pertama, maka hamba menjadi Dia, yakni hanya Nabi Muhammad Saw. dan tidak ada yang lain. Karena hanya beliaulah realitas pengenalan pertama Tuhan sebagai diri-Nya. Fana  yang kedua, hamba menjadi seperti Diri-Nya.

Untuk sampai keadaan demikian, harus menempuh tingkatan  fana yang mendahuluinya, yaitu sebagai berikut.
1.     Fana ‘an al-Mukhalafah (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini, sufi memandang semua tindakanyang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan. Merupakan langkah pengakuan sufi kepada wujud tunggal Allah yang menjadi sumber segalanya termasuk yang paling buruk.
2.     Fana ‘an al-‘ibdal (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap ini, sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta.
3.     Fana ‘an shifat al-makhludin (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini, sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin tidak lain adalah milik Allah.
4.     Fana ‘an al-dzat (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini, Sufi menyadari noneksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar aa di balik dirinya ialah Dzat yang tidak bisa sirna selama-lamanya.
5.     Fana ‘an kull al-‘alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini, Sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal. Yang benar-benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6.     Fana ‘an kulluma siwa ‘illah (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap ini, sufi menyadari bahwa dzat yang betul-betul ada hanya Allah.


Manusia yang telah mencapai tingkatan ini, sering kali mengeluarkan ucapan–ucapan yang  berisikan kepercayaan bahwa hamba dan Tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang dinamakan Madzhab Hulul atau perpaduan. Yaitu, aktifnya potensi lahutiyyah manusia naik dan bersatu dengan Nasutiyyah Allah yang juga merupakan hasil fana dan baqa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar