Jumat, 05 Februari 2016

Barat Kiblat Akademika Mahasiswa Berlabel Agama

Barat atau ke-barat-an, ini telah menjadi tren manusia globalisasi sekarang. Yang mana pengaruhnya melebarkan keseluruh penjuru manapun dan kepentingan kepentingan apapun. Bukti yang konkret adalah lingkungan akademika di Negara Indonesia yang terutama pada lingkungan perguruan tinggi, yang membuat melotot mata salah satunya bergesernya kiblat (baca: rujukan) pendidikan islami –pendidikan berlabel islam- yang lebih berbangga mendasarkan kutipan dari orientalis dari pada ulama-ulama masyhur dahulu. Itulah kebiasaan mahasiswa (tertutama mahasiswa Islam) yang biasa dilakukan dalam akademisnya.

Pendidikan, agama,  dan  globalisasi

“Life is education, and education is life” pernyataan Lodge mengisyratkan hubungan yang erat antara pendidikan dengan kehidupan yang hamper-hampir tidak dapat dibedakan dan dipisahkan, yang keduanya telah menyatu dalam jalinan filosofis. Pendidikan adalah proses bagi manusia dalam mengarungi asam garam kehidupan dan sebaliknya. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Globalisasi pada umumnya diartikan dengan hilangnya batas antar manusia dibelahan dunia manapun, batas jarak, bahasa, media, dan informasi. Seluruh dunia terhubung dengan satu ikatan yang sama yakni internet yang terhubung diseluruh penjuru dunia. Yang di dalamnya terdapat berbagai unsur kebaikan dan keburukan yang mudah diterima. Dari pengaruh ini, mahasiswa berparadigma ala globalisasi di dalam dan di luar akademisnya.
Sinkronasi keduanya akan menemui titik terang diantaranya dapat mengetahui bagaiamana dan apa yang dihasilkan dari gaya pendidikan seluruh dunia, keduanya akan saling menguatkan dalam perkembangan peradaban dunia sebagai standarisasi kualitas pendidikan diseluruh dunia, globalisasi akan membantu materi yang dibutuhkan dalam jalannya pendidikan. Dan titik buntu antara keduanya bahwa dalam pendidikan tidak sepenuhnya sebebas dalam globalisasi, pendidikan berlabel agama tidak sepatutnya dicampuradukkan kepentingan globalisasi.

Mahasiswa dalam dunia pendidikan secara umum, menginginkan memegang pemilik atau pengendali globalisasi – bangsa barat – ada ditangannya dalam arti ikut mengendalikan globalisasi dengan mengarungi semua yang tersedia di dalamnya yang kemudian akan dapat mengambil peradaban yang sementara dipegang oleh barat. Mahasiswa tersebut terdapat pada Negara manapun termasuk mahasiswa barat sendiri sebagai penahan peradaban yang sudah ada ditangannya.

Dari sisi umum tersebut, mahasiswa yang berlabel agama mengikuti arus tersebut yang menurutnya menjadi pengangkat kembali agama dikancah globalisasi. Namun hal ini bukan prioritas utama pada sisi agama, dalam kitab qism al-‘ilm wa al-da’wah  dikatakan bahwa ilmu dalam dunia pendidikan agama adalah al-quran, as-sunnah, dan pendapat ulama. Rujukan terhadap “ulama” disini juga cukup banyak arti yang bisa diartikan sebagai ulama yang orientasinya hanya agama ataukah ilmuan/ahli ilmu apapun. Dalam hal ini, al-Quran mencerahkan dengan “Bertanyalah kepada ahli Dzikr” merujuklah kepada ulama/ilmuan yang senantiasa mengingat Tuhan.
Ranah pendidikan sisi keagamaan ini, tidaklah juga terpaku dengan dasar agama saja, kutip saja sabda nabi “carilah ilmu sampai negeri china”inilah sisi plural dan toleran seorang nabi untuk membuka mata pentingnya agama yang global dan diterima dimanapun berada.

Perguruan tinggi dan semangat ke-barat-an

Jejang tertinggi studi resmi dalam hidup di dunia yakni perguruan tinggi. Di mana seluruh materi studi akhir dituangkan pada jenjang ini. Karena itu, muatan-muatan yang ada di dalamnya tergantung pada rujukan ilmiah yang tersedia selama ini. Masalahnya rujukan ilmiah yang sementara tersedia selama ini ujung-ujungnya dikembalikan kepada produk ilmiah barat, memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa semua ini tidaklah aneh karena mereka memiliki semangat keilmuan yang tinggi. Berangkat dari hal tersebut ada beberapa factor yang menjadikan hal tersebut terjadi, pertama bahasa dapat dipahami diseluruh dunia, seperti bahasa Inggris di zaman modern kini menjadi bahasa pemersatu seluruh dunia. Kedua penyumbang pengetahuan, dalam hal ini memandang para peraih nobel yang rata-rata berasal dari barat. Ketiga perekonomian menjadi penyumbang terbesar perkembangan pengetahuan, seperti halnya percobaan-percobaan yang telah dilkukan dengan biaya yang amat besar. Keempat kualitas manusia dalam intelektual, pekerjaan, dan kreativitas yang melahirkan inovasi terbaru dalam pengetahuan.

Hal ini begitu menarik dan perlu ditiru, secara tidak langsung factor-faktor tersebut telah diaplikasikan disetiap perguruan tinggi. Itu merupakan sisi baik barat yang selama ini belum sepenuhnya diaplikasikan diseluruh Negara termasuk Indonesia. Maka dari itu, wajar saja mahasiswa lebih bangga dengan gaya barat dalam berargumen daripada gaya konservatif ketika akademika berlangsung. Dapat dikatakan bahwa mahasiswa terpengaruh dunia perguruan tinggi yang memiliki semangat ke-barat-baratan.

Perlu ditegaskan kembali, arti ‘semangat’ disini adalah gairah mengembangkan pengetahuan dalam pengeruhnya terhadap kesejahteraan dunia, bisa dikatakan melanjutkan kemajuan pengetahuan dan intelektual. Semangat tidak diartikan imitasi keilmuan akan tetapi empati pentingnya keilmuan.

Jadi ketika mahasiswa mengatakan ‘zuhud’ menjadi asketisme, inilah semangat keilmuan dalam menyeimbangkan pengetahuan antara Islam dan Barat. Akan tetapi hal ini jangan sampai mereduksi arti yang sebenarnya bukan pergeseran makna, karena hal tersebut dikhawatirkan memburamkan aspek penting pengetahuan dalam segi proporsinya.

Budaya akademik Mahasiswa (islam) dengan ke-barat-an

Dari perihal yang diungkap lebar tersebut, tidak dapat dipungkiri kalau para mahasiswa memiliki budaya akademika yang berkiblat dengan barat. Sebagai bentuk apresiasi terhadap mereka penumbang dan penyedia ilmu pengetahuan pada masa modern ini.

Namun timbul pertanyaan, apakah tindakan mahasiswa islam (universitas berlabel islam) dalam mengahadapi dua sisi antara islam dan barat? Menurut saya, hal yang terbaik untuk Islam adalah mengambil kembali peradaban pengetahuan seperti masa-masa silam dan hal itu diperjuangkan melalui islam sendiri yakni agama yang sangat mengahargai ilmu pengetahuan.

Hemat saya, budaya akademika dalam studi keislaman dalam perguruang tinggi harus diwarnai dengan ala barat, karena apa? Ini bentuk persaingan yang menarik, bahwa kalau akademika tersebut diterapkan akan menjadi kekayaan pengetahuan, dengan mendapatkan kedua-duanya yaitu pengetahuan mengenai Islam dan pengetahuan barat. Selain itu, antara keduanya akan melahirkan keajaiban intelektual sebagaimana masa-masa silam ketika para ulama yang alim agama dan juga melahirkan inovasi-inovasi temuan pengetahuan dapat menciptakan peradaban.

Jadi, melihat sisi positif budaya akademik yanng seperti itu yang harus dipegang erat mahasiswa modern untuk kemajuan yang akan datang. Akan tetapi masih banyak pula sisi negatif dari akademika tersebut; (1) Barat menjadi lebih dominan dari agama akan dapat membuat cacat harga diri agama tersebut, seperti lebih meyakini kebenaran pengetahuan empiris daripada agama yang metafisik  (2) agama menjadi segalanya daripada barat, ini juga berpotensi menjatuhkan martabat Agama yang fleksibel terhadap zaman (3) gaya liberal barat mengalihkan agama dari posisinya, antara agama dan barat tidak selamanya dapat dicampuradukkan. Liberal merupakan produk dari pemikiran manusia bahkan pemikiran manusia yang tidak bertuhan (atheis) untuk itu prlu diberikan filter untuk menyaring barat dalam keberagamaan.


Maka mahasiswa Islam, harus selektif dalam berbudaya dalam akademika perguruan tinggi. Harus tahu apa yang ada pada bidangnya dan apa yang harus diserap dari barat. Mahsiswa harus memiliki ciri khas pribadi dalam bidang akademika dan tahan dari pukulan sisi negatif seluruh konteks keilmuan dan juga bijaksana dalam pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar