Barat atau ke-barat-an, ini telah menjadi tren manusia
globalisasi sekarang. Yang mana pengaruhnya melebarkan keseluruh penjuru
manapun dan kepentingan kepentingan apapun. Bukti yang konkret adalah
lingkungan akademika di Negara Indonesia yang terutama pada lingkungan
perguruan tinggi, yang membuat melotot mata salah satunya bergesernya kiblat
(baca: rujukan) pendidikan islami –pendidikan berlabel islam- yang lebih
berbangga mendasarkan kutipan dari orientalis dari pada ulama-ulama
masyhur dahulu. Itulah kebiasaan mahasiswa (tertutama
mahasiswa Islam) yang biasa dilakukan dalam akademisnya.
Pendidikan, agama, dan globalisasi
“Life is
education, and education is life” pernyataan Lodge
mengisyratkan hubungan yang erat antara pendidikan dengan kehidupan yang
hamper-hampir tidak dapat dibedakan dan dipisahkan, yang keduanya telah menyatu
dalam jalinan filosofis. Pendidikan adalah proses bagi manusia dalam mengarungi
asam garam kehidupan dan sebaliknya. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Globalisasi pada
umumnya diartikan dengan hilangnya batas antar manusia dibelahan dunia manapun,
batas jarak, bahasa, media, dan informasi. Seluruh dunia terhubung dengan satu
ikatan yang sama yakni internet yang terhubung diseluruh penjuru dunia.
Yang di dalamnya terdapat berbagai unsur kebaikan dan keburukan yang mudah
diterima. Dari pengaruh ini, mahasiswa berparadigma ala globalisasi di dalam
dan di luar akademisnya.
Sinkronasi
keduanya akan menemui titik terang diantaranya dapat mengetahui bagaiamana dan
apa yang dihasilkan dari gaya pendidikan seluruh dunia, keduanya akan saling
menguatkan dalam perkembangan peradaban dunia sebagai standarisasi kualitas
pendidikan diseluruh dunia, globalisasi akan membantu materi yang dibutuhkan
dalam jalannya pendidikan. Dan titik buntu antara keduanya bahwa dalam
pendidikan tidak sepenuhnya sebebas dalam globalisasi, pendidikan berlabel
agama tidak sepatutnya dicampuradukkan kepentingan globalisasi.
Mahasiswa dalam
dunia pendidikan secara umum, menginginkan memegang pemilik atau pengendali
globalisasi – bangsa barat – ada ditangannya dalam arti ikut mengendalikan
globalisasi dengan mengarungi semua yang tersedia di dalamnya yang kemudian
akan dapat mengambil peradaban yang sementara dipegang oleh barat. Mahasiswa
tersebut terdapat pada Negara manapun termasuk mahasiswa barat sendiri sebagai
penahan peradaban yang sudah ada ditangannya.
Dari sisi umum
tersebut, mahasiswa yang berlabel agama mengikuti arus tersebut yang menurutnya
menjadi pengangkat kembali agama dikancah globalisasi. Namun hal ini bukan
prioritas utama pada sisi agama, dalam kitab qism al-‘ilm wa al-da’wah dikatakan bahwa ilmu dalam dunia
pendidikan agama adalah al-quran, as-sunnah, dan pendapat ulama. Rujukan
terhadap “ulama” disini juga cukup banyak arti yang bisa diartikan sebagai
ulama yang orientasinya hanya agama ataukah ilmuan/ahli ilmu apapun. Dalam hal
ini, al-Quran mencerahkan dengan “Bertanyalah kepada ahli Dzikr”
merujuklah kepada ulama/ilmuan yang senantiasa mengingat Tuhan.
Ranah pendidikan
sisi keagamaan ini, tidaklah juga terpaku dengan dasar agama saja, kutip saja
sabda nabi “carilah ilmu sampai negeri china”inilah sisi plural dan
toleran seorang nabi untuk membuka mata pentingnya agama yang global dan
diterima dimanapun berada.
Perguruan tinggi
dan semangat ke-barat-an
Jejang tertinggi
studi resmi dalam hidup di dunia yakni perguruan tinggi. Di mana seluruh materi
studi akhir dituangkan pada jenjang ini. Karena itu, muatan-muatan yang ada di
dalamnya tergantung pada rujukan ilmiah yang tersedia selama ini. Masalahnya
rujukan ilmiah yang sementara tersedia selama ini ujung-ujungnya dikembalikan
kepada produk ilmiah barat, memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa semua ini
tidaklah aneh karena mereka memiliki semangat keilmuan yang tinggi. Berangkat
dari hal tersebut ada beberapa factor yang menjadikan hal tersebut terjadi, pertama
bahasa dapat dipahami diseluruh dunia, seperti bahasa Inggris di zaman
modern kini menjadi bahasa pemersatu seluruh dunia. Kedua penyumbang
pengetahuan, dalam hal ini memandang para peraih nobel yang rata-rata berasal
dari barat. Ketiga perekonomian menjadi penyumbang terbesar perkembangan
pengetahuan, seperti halnya percobaan-percobaan yang telah dilkukan dengan
biaya yang amat besar. Keempat kualitas manusia dalam intelektual,
pekerjaan, dan kreativitas yang melahirkan inovasi terbaru dalam pengetahuan.
Hal ini begitu
menarik dan perlu ditiru, secara tidak langsung factor-faktor tersebut telah
diaplikasikan disetiap perguruan tinggi. Itu merupakan sisi baik barat yang
selama ini belum sepenuhnya diaplikasikan diseluruh Negara termasuk Indonesia.
Maka dari itu, wajar saja mahasiswa lebih bangga dengan gaya barat dalam
berargumen daripada gaya konservatif ketika akademika berlangsung. Dapat
dikatakan bahwa mahasiswa terpengaruh dunia perguruan tinggi yang memiliki
semangat ke-barat-baratan.
Perlu ditegaskan
kembali, arti ‘semangat’ disini adalah gairah mengembangkan pengetahuan dalam
pengeruhnya terhadap kesejahteraan dunia, bisa dikatakan melanjutkan kemajuan
pengetahuan dan intelektual. Semangat tidak diartikan imitasi keilmuan akan
tetapi empati pentingnya keilmuan.
Jadi ketika
mahasiswa mengatakan ‘zuhud’ menjadi asketisme, inilah semangat keilmuan dalam
menyeimbangkan pengetahuan antara Islam dan Barat. Akan tetapi hal ini jangan
sampai mereduksi arti yang sebenarnya bukan pergeseran makna, karena hal
tersebut dikhawatirkan memburamkan aspek penting pengetahuan dalam segi
proporsinya.
Budaya akademik Mahasiswa (islam) dengan ke-barat-an
Dari perihal yang diungkap lebar tersebut, tidak dapat dipungkiri
kalau para mahasiswa memiliki budaya akademika yang berkiblat dengan barat.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap mereka penumbang dan penyedia ilmu
pengetahuan pada masa modern ini.
Namun timbul pertanyaan, apakah tindakan mahasiswa islam
(universitas berlabel islam) dalam mengahadapi dua sisi antara islam dan barat?
Menurut saya, hal yang terbaik untuk Islam adalah mengambil kembali peradaban
pengetahuan seperti masa-masa silam dan hal itu diperjuangkan melalui islam
sendiri yakni agama yang sangat mengahargai ilmu pengetahuan.
Hemat saya, budaya akademika dalam studi keislaman dalam perguruang
tinggi harus diwarnai dengan ala barat, karena apa? Ini bentuk persaingan yang
menarik, bahwa kalau akademika tersebut diterapkan akan menjadi kekayaan
pengetahuan, dengan mendapatkan kedua-duanya yaitu pengetahuan mengenai Islam
dan pengetahuan barat. Selain itu, antara keduanya akan melahirkan keajaiban
intelektual sebagaimana masa-masa silam ketika para ulama yang alim agama dan
juga melahirkan inovasi-inovasi temuan pengetahuan dapat menciptakan peradaban.
Jadi, melihat sisi positif budaya akademik yanng seperti itu yang
harus dipegang erat mahasiswa modern untuk kemajuan yang akan datang. Akan
tetapi masih banyak pula sisi negatif dari akademika tersebut; (1) Barat
menjadi lebih dominan dari agama akan dapat membuat cacat harga diri agama
tersebut, seperti lebih meyakini kebenaran pengetahuan empiris daripada agama
yang metafisik (2) agama menjadi
segalanya daripada barat, ini juga berpotensi menjatuhkan martabat Agama yang
fleksibel terhadap zaman (3) gaya liberal barat mengalihkan agama dari
posisinya, antara agama dan barat tidak selamanya dapat dicampuradukkan.
Liberal merupakan produk dari pemikiran manusia bahkan pemikiran manusia yang
tidak bertuhan (atheis) untuk itu prlu diberikan filter untuk menyaring
barat dalam keberagamaan.
Maka mahasiswa Islam, harus selektif dalam berbudaya dalam
akademika perguruan tinggi. Harus tahu apa yang ada pada bidangnya dan apa yang
harus diserap dari barat. Mahsiswa harus memiliki ciri khas pribadi dalam
bidang akademika dan tahan dari pukulan sisi negatif seluruh konteks keilmuan
dan juga bijaksana dalam pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar