2.1 Aliran Rasionalisme
Pada abad pertengahan, hegemoni antara akal
dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada abad itu akal kalah total dan iman
menang mutlak. Abad ini telah mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia,
padahal tadinya manusia itu sudah membuktikan bahwa ia sanggup maju dengan
cepat. Abad ini juga telah di penuhi lembaran hitam berupa pemusnahan
orang-orang yang berpikir kreatif, karena pemikirannya berlawanan atau berbeda
dengan pikiran tokoh gereja. Abad ini tidak saja lamban, lebih dari itu secara
pukul rata filsafat mundur pada abad ini. Jangankan menambah, menjaga warisan
sebelumnya pun abad ini tidak mampu. Banyak orang yang jengkel melihat dominasi
gereja. Mereka ingin segera mengakhiri dominasi itu. Akan tetapi, mereka
khawatir mengalami nasib yang sama dengan kawan-kawannya yang telah di kirim ke
akhirat. Sekalipun demikian, ada juga pemberani yang sanggup melawan arus deras
itu. Orang itu adalah Rene Descartes. Sebelum mempelajari pemikiran para tokoh
rasionalisme tersebut, kita akan mengurai ulasan tentang rasionalisme.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang
mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh
pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan
di peroleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah
logis atau kaidah-kaidah logika. Rasionalisme ada dua macam; dalam bidang agama
dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, rasionalisme adalah lawan
autoritas, sedangkan dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme.
Rasionalisme dalam bidang agama biasanya di gunakan untuk mengkritik ajaran
agama. Rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori
pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian
dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling
jelas adalah pemahaman kita tentang logika dan matematika.
Sejarah
rasionalisme sudah tua sekali. Thales menerapkan rasionalisme dalam
filsafatnya. Ini di lanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan
tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga beberapa
tokoh sesudah itu. Pada zaman modern fisafat, tokoh pertama rasionalisme adalah
Rene Descartes. Para filsuf rasionalisme adalah mereka yang; pertama,
mengatakan bahwa kekuatan akal pada diri manusia yang dalam pandangan mereka
merupakan sesuatu kekuatan instinktif adalah sumber dari semua ilmu yang
hakiki, atau merupakan sumber dari dua sifat dari ciri ilmu hakiki secara
khusus, yaitu urgensitas (dharrurah) dan kebenaran mutlak (al-shidq al-mutlaq).
Kedua, berkaitan dengan alam kosmik, para penganut madzhab rasionalisme
menerima adanya wujud spiritual atau rasio yang merupakan asal usul dari segala
entitas. Di antara tokoh madzhab rasionalisme ini adalah; Rene Descartes,
Leibniz, Spinoza.
2.1.1 Rene Descartes
Descartes lahir pada tahun 1596 dan
meninggal pada tahun 1650. Bukunya yang terpenting di dalam filsafat murni
ialah Discours de la Methode (1637) dan Meditations (1642). Kedua buku ini
saling melengkapi satu sama lain. Di dalam kedua buku inilah ia menuangkan
metodenya yang terkenal itu, metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt).
Metode ini sering juga di sebut Cogito Descartes, atau metode Cogito saja.
Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan
tokoh-tookoh gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Tokoh-tokoh
gereja pada waktu itu tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah iman
sebagaimana tersirat di dalam jargon
Credo ut Intelligam dari Anselmus itu. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar
filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang sangat terkenal.
Argumentasi itu tertuang di dalam metode
Cogito tersebut.
Untuk menemukan basis yang kuat bagi
filsafat, Rene Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat di
ragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat di indera, objek yang
sebenarnya tidak mungkin di ragukan. Inilah langkah pertama metode Cogito
tersebut. Dia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin
karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman
dengan roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu
seseorang dapat mengalami seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Tidak
ada batas yang tegas antara keadaan tersebut dengan jaga (nyata).
Pada langkah pertama ini Descartes dapat
(berhasil) meragukan semua benda yang dapat di indera. apa sekarang yang dapat
di percaya, yang sungguh-sungguh ada ? Menurut Rene Descartes, dalam keempat
keadaan tersebut (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus), juga dalam jaga, ada
sesuatu yang selalu muncul. Ada seuatu yang muncul, baik dalam jaga maupun
dalam mimpi. Yang selalu muncul itu ialah; gerak, jumlah, dan besaran (volume).
Pada tahap kedua ini, Rene Descartes mengajak kita berpendapat bahwa yang tiga
inilah yang lebih ada daripada benda-benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan
adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada.
Setelah Rene Descartes menguji ketiga hal
tersebut, ia kemudian meragukannya. Yang tiga macam itu adalah matematika. Kata
Descartes, “matematika dapat salah”. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya
ragukan. Ilmu pasti lebih pasti daripada benda, tetapi saya masih dapat
meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti di ragukan. Kalau begitu, apa sekarang
yang pasti itu, yang dapat ku jadikan dasar filsafatku ? Aku ingin yang pasti,
yang distinct. Sampailah ia sekarang pada tahap ketiga dalam metode Cogito.
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan
pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Karyanya yang berjudul A
Discourse on Methode mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal berikut;
2.1.1.1 Kebenaran baru di nyatakan benar jika telah benar-benar inderawi dan
realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distinctly), sehingga tidak ada
suatu kerraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.1.1.2 Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin,
sehingga tidak ada suatu keraguan apa pin yang mampu merobohkannnya.
2.1.1.3 Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang
sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang
paling sulit dan kompleks.
2.1.1.4 Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus di
buat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang
menyeluruh, sehingga di peroleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang
mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan,
demikian katanya. Bahkan tidak ada satu setan yang licik pun dapat mengganggu
aku. Tak seorang skeptis pun dapat meragukannya, yaitu “saya sedang ragu”. Jelas
sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat di ragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu
distinct saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya
bayangan misalnya, atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya sedang
ragu”, benar-benar tidak dapat saya ragukan adanya.
Aku yang sedang ragu itu di sebabkan oleh
aku yang berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar jika aku
berpikir ada, berarti aku ada, sebab yang berpikir itu aku. Cogito Ergo Sum
(aku berpikir, jadi aku ada).
Sekarang,
Rene Descartes telah menemukan dasar bagi filsafatnya. Dasar itu adalah aku
yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas di jadikan dasar filsafat karena
aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak di ragukan, bukan kamu
atau pikiranmu.
2.1.2 Leibniz
Gottfried W. Leibniz lahir pada tanggal 1
Juli 1646 di Leipzig, Jerman. Ia merupakan penganut filsafat rasionalisme
Descartes, yakni pengetahuan manusia yang sesungguhnya di peroleh dengan akal dan
panca indera, bukan dari pengalaman (empirisme).
Salah satu pemikiran Gottfried Wilhelm
Liebniz ialah tentang subtansi. Menurutnya ada banyak substansi yang di sebut
dengan “monad” (monos = satu, monad = satu unit). Jika dalam matematika yang
terkecil adalah titik, dan dalam fisika di sebut dengan atom, maka dalam
metafisika di sebut dengan “monad”. Monad adalah sebutan substansi terkecil
dalam metafisika yang cukup diri dan terisoloasi, berpisah diri, yang tak
saling berinteraksi dengan substansi-substansi kecil lainnya. Substansi itu
bukan benda jasmaniah. Ia murni spiritual-mental. Karena itu, monad tak
berkeluasan. Ia semacam daya purba (force primitives). Terkecil dalam pendapat
Leibniz bukan berarti sebuah ukuran, melainkan sebagai tidak berkeluasan. Maka
yang di maksud dengan monad bukan sebuah benda. Setiap monad berbeda antara
yang satu dari yang lain dan Tuhan (Supermonad dan satu-satunya monad yang
tidak di cipta) adalah pencipta monad-monad itu. Monad tidak mmpunyai kualitas.
Karenanya hanya Tuhan yang benar-benar mengetahui setiap monad. Sebagai
subtansi nonmaterial, monad bersifat;
2.1.2.1 Abadi, tidak bisa di hasilakan,
ataupun di musnahkan;
2.1.2.2 Tidak
bisa di bagi;
2.1.2.3 Individual
atau berdiri sendiri, sehingga tidak ada monad yang identik dengan monad lain;
2.1.2.4 Mewujudkan
kesatuan yang tertutup atau tidak berjendela, seolah-olah sesuatu bisa masuk
atau keluar;
2.1.2.5 Tidak beruang dan berwaktu.
2.1.3 Spinoza
Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam
pada tanggal 24 November 1632. Di masa kecilnya Spinoza telah menunjukkan
kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa dia bisa menjadi
seorang rabbi.
Dalam kehidupannya dia tidak hanya belajar
tentang matematika dan ilmu alam, tetapi ia juga mampalajari bahasa latin, seperti;
Yunani, Belanda, Perancis, Yahudi, Jerman dan Italia. Pada usia yang ke-18,
Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia mergukan kitab suci sebagai
wahyu Allah, mengkritik imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi
sebagai umat pilihan Yahweh dan keterlibatan Allah secara personal dalam
sejarah kehidupan manusia. Pada tahun 1956 Spinoza di kucilkan, tetapi dia
tidak pernah bingung dengan keadaan ini. Dia selalu bersikap tenang dalam
menghadapi situasi ini. Hingga pada akhirnya dia mengganti namanya dengan
Benedictus de Spinoza sebagai tanda kehidupan barunya.
Spinoza merupakan salah satu tokoh filsafat
pada abad modern yang mempunyai pemikiran yang di akui oleh dunia. Banyak orang
yang tidak setuju dengan ajarannya. Orang-orang yang tidak setuju dengan ajaran
Spinoza ini adalah para kaum Yahudi. Pemikiran Spinoza ini banyak di pengaruhi
oleh pemikiran Rene Descartes. Pemikirannya bersifat rasionalisme. Para tokoh
filsafat yang mempunyai pemikiran rasionalisme ini percaya atau berpendirian
bahwa sumber pengetahuan manusia itu terletak pada akal. Tetapi bukan di
maksudkan bahwa rasionalisme mengingkari pengalaman tetapi pengalaman di anggap
sebagai perangsang bagi pemikiran. Mereka percaya bahwa kebenaran dan kesesatan
berasal dari ide kita sendiri. Jika kebenaran menunjuk pada kenyataan, maka
kebenaran hanya ada dalam pemikiran kita saja dan dapat di peroleh dari akal
budi kita. Menurut dia, ilmu pengetahuan yang dapat di percaya adalah akal.
Hanya pengetahuan yang di peroleh lewat akal yang memenuhi syarat yang di
tuntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal menurutnya dapat di
peroleh kebenaran dengan metode deduktif seperti yang di contohkan dalam ilmu
pasti.
Kata kunci dalam ajaran Spinoza adalah Deus
Sive Nature (Allah atau Alam). Sebagai Allah, alam adalah Natura Naturans (alam
yang melahirkan). Sebagai dirinya sendiri alam adalah Natura Naturata (alam
yang di lahirkan), yaitu nama untuk Allah dan Alam yang sama. Bagi Spinoza
hanya ada satu substansi yang ada di dunia ini yang sering disebut dengan
pemikiran substansi tunggal yaitu Allah atau alam. Substansi merupakan sesuatu
yang ada pada diri seseorang atau ada pada dirinya yang bersifat abadi, tidak
terbatas, mutlak dan utuh. Sifat tersebut hanya di miliki oleh Allah. Apabila
substansi tunggal itu adalah Allah, maka segala yang ada di dunia ini, baik
jasmaniah maupun rohaniah adalah kehendak Allah. Segala sesuatu itu bisa di
ciptakan atau di musnahkan atas kehendak Allah.
Spinoza mengatakan bahwa kebenaran itu
terpusat pada pemikiran dan keluasan. Menurutnya, pemikiran adalah jiwa dan
keluasan tubuh yang eksistensi keduanya sama atau berbarengan. Pemikiran
manusia itu sangat penting bagi kelangsungan hidupnya. Semua manusia itu akan
berpikir dan bertindak sesuai dengan pemikrannya.
Garis besar dari pemikiran Spinoza adalah
pemikiran yang di dasari oleh akal. Menurutnya, dalam suatu pemikiran itu di
dominasi oleh akal atau dengan kata lain bahwa akal yang paling penting. Segala
ilmu pengetahuan itu berasal dari akal karena pengetahuan yang bersumber dari
akal itu merupakan pengetahuan yang benar dan dapat di percaya. Semua manusia
itu akan menggunakan akalnya dalam berbagai hal untuk kebutuhan dalam hidupnya.
Misalnya saja semua orang itu akan mempertahankan diri dari segala sesuatu yang
dia anggap akan membahayakan dirinya. Hal tersebut merangsang manusia untuk
berpikir bagaimana cara supaya ia dapat mempertahankan dirinya. Selain usaha
untuk mempertahankan diri, hal yang merangsang pemikiran atau akal manusia
adalah adanya pengalaman. Banyak orang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru
terbaik. Hal itu memang benar karena dari pengalaman sebelumnya yang dianggap
buruk orang akan berpikir bahwa dia tidak akan mengulangi hal tersebut dan akan
berhati-hati. Akal itu mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia dan
sangat menentukan bagi kelangsungannya.
2.2
Aliran Empirisme
Empirisme
adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini
beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara
obsevasi/pengindaraan. Peengalaman merupakan faktor fundamental dalam
pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan manusia.
Empirisme berasal dari kata Yunani “empiris” yang berarti
pengalaman indrawi. Karena itu, empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang
menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan
rasionalisme.
Rasionalisme
mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, karena itu
pengenalan indrawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Sebaliknya,
empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga
pengenalan indrawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Seorang
yang yang beraliran empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan di dapat
melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan
tersebut. Ini berarti bahwa semua pengetahuan,betapa pun rumitnya, dapat
dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu ilmu pengetahuan.
Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai
pada pengalaman indrawi dan apa yang tidak dapat dilacakbukan pengetahuan.
Lebih
lanjut, penganut empirisme mengatakan bahwapengalaman tidak lain akibat suatu
objek yang merangsang alat-alat indrawi, yang kemudian dipahami di dalam otak,
dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai
objek yang telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Empirisme memegang
peranan yang amat penting bagi pengetahuan. Penganut aliran ini menganggap
pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasarilmu pengetahuan. Pengalaman
indrawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Kelemahan aliran ini adalah;
2.2.1
Indra
sifatnya terbatas;
2.2.2
Indra
sering menipu;
2.2.3
Objek
juga menipu, seperti ilusi/fatamorgana;
2.2.4
Indra
dan sekaligus objeknya.
Jadi,
kelemahan empirisme ini karena keterbatasan indera
manusia sehingga muncullah aliran rasionalisme.
Berikut di antara tokoh-tokoh aliran empirisme;
2.2.1
Francis
Bacon(1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah
pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dan dunia fakta.
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah
dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya bahwa kita sudah terlalu lama
dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Menurut
Bacon, ilmu yang benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan
kenyataan, kemudian diperkuat oleh sentuhan indrawi.
2.2.2
Thomas
Hobbes(1588-1679 M)
Sebagaimana umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa
pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak
lain dari semacam perhitungan, yaitu penggabungan data-data indrawi yang sama
dengan cara berlain-lainan. Tentang dunia dan manusia, ia dapat dikatakan
sebagai penganut materialisme. Oleh karena itu, ajaran Hobbes merupakan sistem
materialistis yang pertama dalam sejarah modern. Berbeda dengan Francis Bacon
yang meletakkan eksperimen-eksperimen sebagai metode penelitian, Hobbes
memandangnya sebagai doktrin.
2.2.3
Jhon
Locke(1632-1704 M)
Ia
adalah filosof Inggris yang banyak mempelajari agama Kristen. Filsafat Locke
dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan
oleh Descrates, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descrates. Ia
juga menolak metode deduktif Descrates dan menggantinya dengan generalisasi
berdasarkan pengalaman atau disebut induksi. Bahkan, Locke menolak juga akal
(reason). Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan
dengan metode induksi.
Locke termasuk orang yang mengagumi Descrates, tetapi ia tidak
menyetujui ajaranya. Bagi Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai
“lembaran kertas putih” (as a white
paper) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke pengalaman ada
dua: pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection).
Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal. Roh manusia bersifat
pasif dalam menerima ide-ide tersebut. Namun demikian, roh mempunyai aktifitas
juga, karena dengan menggunakan ide-ide tunggal sebgai batu bangunan, roh
manusiawi dapat membentuk ide majemuk. Locke kemudian menyatakan bahwa dalam
dunia luar memang ada substansi-substansi, tetapi kita hanya mengenai
ciri-cirinya saja.
2.2.4
David
Hume (1711-1776
M)
Menurut para penulis sejarah filsafat, empirisme berpuncak pada
David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang
paling radikal, terutama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan sebab
akibat) yang menjadi objek kritiknya. Ia tidak menerima substansi, sebab yang
dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat
bersama-sama (misalnya:putih,licin,berat, dan sebagainya). Akan tetapi, atas
dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang ciri-ciri itu masih
ada suatu substanti (misalnya: sehelai kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi).
Sebagai seorang empiris, Hume tampak lebih konsekuensi daripada Berkeley
2.2.5
George
Berkeley(1665-1753 M)
Berkeley yang lahir di Irlandia ini menjadi uskup Anglikan di
Clyone (Irlandia). Sebagai penganut empirisme, Berkeley mencenangkan teori yang
dinamakan immaterialisme atas dasar prnsip-prinsip empiris. Jika Locke masih
menerima substansi-substansi diluar kita, Barkeley berpendapat bahwa sama
sekali tidak ada substansi-substansi materiil, yang ada hanyalah pengalaman
dalam roh saja. Esse estpercipi(Being is being perceived), yang artinya bahwa
dunia materiil sama saja dengan ide-ide yang sama alami. Demikian pula, menurut
pemikiran Barkeley, ide-ide membuat saya melihat suatu dunia materiil.
2.2.6
Herbert
Spencer(1820-1903 M)
Filsafat Herbert Spencer berpusat pada teori evolusi. Sembilan
tahun sebelum terbit karya Darwin yang terkenal, The Origen of Species (1859
M), Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi. Empirismenyater
lihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut Spencer,
kita hanya dapat menggali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar di
belakang gejala-gejala itu ada suatu dasar absolut, tetapi yang itu tidak dapat
kita kenal secara prinsip, pengenalan kita hanya menyangkut relasi-relasi
antara gejala-gejala. Di belakang gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer
disebut yang tidak diketahui (the great unknowable). Sudah jelas, menurut Spencer, metafisika
menjadi tidak mungkin.
2.3 Aliran Kritisisme
Kehadiran aliran rasionalisme dan empirisme
sangat bertolak belakang dari tujuan semula. Pada satu sisi landasan berfikir
aliran rasionalisme yang bertolak dari rasio dan di lain sisi empirisme yang
lebih mendasarkan pada pengalaman seolah sudah sempurna, padahal kedua tawaran
tersebut bukan jawaban yang tepat. Tokoh yang paling menolak kedua pandangan di
atas adalah Immanuel Kant (1724-1804 M).
Kant berusaha menawarkan perspektif baru
dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap pertikaian itu dengan filsafatnya
yang di namakan kritisisme. Untuk itulah ia menulis tiga bukunya yang berjudul :
kritik der reinen vernunft ( kritik rasio murni), kritik der urteilskraft, dan
lainnya. Bagi Kant, dalam pengenalan indrawi selalu sudah ada dua bentuk
apriori, yaitu ruang dan waktu.
Kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri. Memang ada suatu realitas
terlepas dari subjek yang mengindra, tetapi realitas tidak pernah di kenalinya.
Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesis antarayang di luar (aposteriori)
dan ruang waktu (a priori).
Menurut I.Kant peranan budi sangat penting
sekali, hal ini tampak dalam pengetahuan apriorinya, baik yang analitis maupun
yang sintetis. Disamping itu, peranan pengalaman (empiris) tampak jelas dalam
pengetahuan aposteriorinya
Dalam kritik atas Rasio Murni, I. Kant membedakan tiga macam pengetahuan
2.3.1 Pengetahuan analisis : predikat sudah termuat dalam subjek. Predikat di
ketahui melalui suatu analisis subjek. Misal, lingkungan itu bulat.
2.3.2 Pengetahuan sintetis aposteriori : predikat di hubungkan dengan subjek
berdasarkan pengalaman indrawi. Misal, kalimat “hari ini sudah hujan”,merupakan
suatu hasil observasi indrawi “sesudah”
observasi saya, saya bisa mengatakan bahwa S adalah P.
2.3.3 Pengetahuan sintetis apriori : akal budi dan pengalaman indrawi di
butuhkan serentak. Ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam bersifat sintesis
apriori. Kalau saya tahu bahwa 10+5 = 15 memang terjadi sesuatu yang sangat
istimewa. ( Abbas Hamami, 1982 ).
2.4 Aliran strukturalisme
Strukturalisme adalah pandangan yang menyatakan
bahwa semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama
dan tetap. Pemikiran ini menggunakan pendekatan terhadap ilmu-ilmu
humaniora yang mencoba menganalisis fenemona semiotik (sebagai
sistem tunda), atau lebih longgar sebagai sistem bagian yang saling
berhubungan.
Secara
garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan
strukturalisme sebagai aliran filsafat:
1. Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang
digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari
prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Disini
ilmu-ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi
Dilthey disebut Geistewissenschaften yang dibedakan dengan ilmu
pengetahuan alam atau Naturwissenschaften.
2.
Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang
munculdalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk
membahas manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan
alam.
Metodologi
Strukturalisme sebagai metode berpikir dalam memahami realitas
dimulai oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913 M), seorang ahli Linguistik yang
mempelajari bahasa dari sudut pandang strukturnya.Menurut Ferdinand de Saussure
Strukturalisme memiliki dua pengertian, yaitu: 1. Strukturalisme adalah metode
atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan
bertitik tolak dari prinsip- prinsip Linguistik. 2. Strukturalisme adalah
aliran filsafat yang hendak memahami manusia, sejarah dan kebudayaan serta
hubungan kebudayaan dengan alam dengan memakai metode struktural.
Strukturalisme menyelidiki pola-pola dasar yang tetap dalam berbgai realitas.
3. Metode yang dipakai dalam strukturalisme ialah metode instropektif. Metode
introspeksi ialah orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan
kembali pengalamannya atau perasaannya setelah ia melakukan suatu eksperimen.
Sensasi seperti manis, pahit, dingin dapat diidentifikasi memakai introspeksi.
Tokoh-tokoh
Strukturalisme
1.
Ferdinand
De Saussure dalam linguistik.
Sebagai
penemu stuktur bahasa, Saussure berargumen dengan melawan para sejarawan yang
menang dalam pendekatan filologi. Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang
didekati dari sistem terdiri dari elemen dan peraturannya dalam pembuatannya yang bertujuan menolong
komnunikasi dalam masyarakat. dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah
social fact, yang berdasar pada objektivitas di mana psikologi dan tatanan
sosial dipertimbangkan Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung) dari
tanda tanda diskusif yand dibagikan oleh sebuah komunitas. Bahasa bagi Saussure
adalah modal interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu yang
disebutsemiologi.
2.
Levi-Strauss
dalam masyarakat.
Metode Strauss adalah anthropologi dan linguistik secara serempak.
Unsur-unsur yang digelutinya adalah mengenai mitos, adat-istiadat, dan
masyarakatnya sendiri. Dalam proses analisisnya, manusia kemudian dipandang
sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak dikonstitusikan oleh analisis
itu, melainkan dilarutkan dengan analisis. Perubahan penekanan dari manusia ke
struktur merupakan ciri umum pemikiran
strukturalis.
3.
L.S
Vygostsky, Jacques Lacan dan Jean Piaget dalam psikologi
Jacques Lacan (Freudian)
dalam psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan Levi-Strauss untuk
menekankan pendapat Sigmund Freud dengan bahasa dan argumen yang, sebagai
sebuah tatanan kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang itu. Hal
ini masalah, bahwa bahasa selalu bergerak dan dinamis, termasuk metafora,
metonomi, kondensasi serta pergeserannya. Jean Piaget sendiri menggambarkan
Strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu, yaitu yang
unsur-unsurnya adalah anggota dari sistem di luar struktur itu sendiri. Sistem
itu ditangkap melalui kognisi anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.
4.
Roland
Berthes
Menerapkan analis strukturalis pada kritik sastra dengan menganggap
berbagai macam ekspresi atau analisis bahasa sebagai bahasa yang berbeda-beda
Tugas kritik sastra adalah terjemahan, yaitu mengekspresikan sistem formal yang
telah dibentangkan penulisnya dengan suatu bahasa. Hal ini terkait dengan
kondisi zamannya.
5.
Michel
Foucault dalam filsafat.
Strukturalisme modern atau poststrukturalisme dalam bidang filsafat
adalah dengan mendekati subjektivitas dari generasi dalam berbagai wacana
epistemik dari tiruan maupun pengungkapannya. Sebagaimana peran isntitusional
dari pengetahuan dan kekausaan dalam
produksi dan pelestarian disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial
juga berlaku pendekatan itu. Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di dalam
perubahan teori dan praktek dari kegilaan,kriminalitas, hukuman, seksualitas,
kumpulan catatan itu dapat menormalisasi setiap individu dalam pengertian
mereka.
6.
Guenther
Schiwy dalam kekristenan
Strukturalisme terkait kekristenan dalam atemporal sturkturalisme
sebenarnya cocok dengan penekanan eternalistik kekristenan. 2.3 Metodologi
Strukturalisme sebagai aliran filsafat yang bereaksi terhadap subjektivisme
yang didewakan oleh Eksistensialisme mempunyai ciri-ciri:
1. “Desentralisasi” manusia.
2. “Kematian” manusia sebagai subjek.
3. Manusia dibicarakan dalam rangka struktur bahasa, sosial,
ekonomi, dan politik.
2.5 Aliran Fenomenologi
Seorang ahli
berpandapat bahwa fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan suatu madzhab
filsafat. Sementara itu, anggpan para ahli tertentu lebih mengartikan fenomenologi sebagai suatu metode
dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai
pendirian atau suatu aliran filsafat. Khusus dalam pengertian aliran filsafat,
beberapa ahli berpendapat bahwa dengan fenomenologi sebagai madzhab filsafat telah menjadi inkonsistensi, antara lain
anjuran untuk membebaskan dari asusmsi-asusmi dalam reduksinya. Sebagai madzhab
filsfata, pada kenyataannya, fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai
dasarnya.
Edmund Husserl, seorang filosof dan matematikus mengenai
intensionalitas atau pengarahan melahirkan filsfat fenolomenologi berdasarkan
pemikiran Brentano. Dalam pengrtian suatu metode, Kant dan Husserl mengatakan
bahwa apa yang dapat diamati hanyalah fenomena, bukna neumenon atau sumber
gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terhadap
hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni sehingga butuh reduksi. Jadi,
pengamatan biasa (netuerliche einstellung) akan menimbulkan bias.
Meskipun pengamatannya merupakan hal biasa pada manusia umumnya, hal tersebut
tidak memuaskan filosof dan orang-orang yang menginginkan kebenaran secara
murni, yaitu:
1)
Membebaskan
diri dari anasir atau unsur subjektif.
2)
Membebaskan
diri dari kungkungan teori dan hipotesis.
3)
Membebaskan
diri doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi tingkat pertama, reeduksi fenomeologi
atau reduksi epochal, fenomen ayang digadapi menjadi fenomena yang
murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna yang sebenarnya. Oleh
karena itu, perlu reduksi yang kedua, yang disebut reduksi eiditis (eiditische
reduktion). Melalui reduksi yang kedua, fenomen ayang terjadi mampu
mencapai inti atau esensi (eidos). Kedua reduksi tersebut adalah mutlak.
Selainkedua reduksi tersebut, ada pula reduksi yang ketiga dan berikutnya
dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur
apapun, serta mencari kebenaran yang tertinggi. Seorang kritikus fenomenologi
menyindir reduksi-reduksi tersebut dengan mengatakan bahwa fenomenologi itu seperti
upaya menajamkan pisau untuk mencapi taraf ketajaman yang prima. Pengasahan
dilkukan secara terus menerus, berulang-ulang hingga tajam, dan akhirnya pisau
tersebut itu habis. Selain sebagai metode untuk mencapai kebenaran,
fenomenologi juga berkembang sebagai aliran atau ajaran filsafat.
2.6 Aliran Intuisionisme
Henri Bergson
(1859-1941) adalah tokoh aliran ini. ia menganggap, tidak hanya indera yang
terbatas, akal juga terbatas. Obyek-obyek kita tangkap itu adalah obyek yang
selalu berubah, demikian Bergson. Jadi pengetahuan kita tentangnya tidak
lengkap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu obyek
bila ia mengonsentrasikan dirinya pada obyek itu, jadi dalam hal seperti itu
manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak juga dapat memahami
sifat-sifat yang tetap pada obyek. Akal hanya mampu memahami bagian-bagian dari
obyek, kemudian bagian-bagian itu digabungkan oleh akal. Itu tidak sama dengan
pengetahuan menyeluruh tentang obyek itu. Misalnya ; adil. Apa itu adil ? Akal
memahaminya dari segi si terhukum, timbul pemahaman akali : memahaminya dari
segi hakim, timbul pemahaman akali ; memahaminya dari segi keluarga si
terhukum, timbul pemahaman akali : dari segi jaksa dan seterusnya. Dapat di
simpulkan, adiol adalah jumlah pemahaman akali itu. Itu belum tentua benar,
disinilah intuisionisme masuk.
Dengan
menyadari keterbatasan indera dan akal, Bergsion mengembangkan satu kemampuan
tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intusi. Ini adalah hasil evolusi
pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tetapi berbeda
dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini memerlukan usaha.
Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, yang
unique. Intuisi ini menangkap obyek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
Jadi indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh
(spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap.
Untuk lebih
jelasnya Loius O.Kattasof memberikan sebuah contoh. Misalnya,saya minta agar
seseorang menceritakan apa yang terjadi setelah siaran yang menggambarkan
tentang “penyerbuan dari planet mars”. Kita anggap ia termasuk salah seorang
yang terlibat sebagai pendengar. Sudah tentu ia akan melukiskan apa yang telah
dikerjakannya. Ketika mendengarkan siaran tersebut; bagaimana perasaanya ketika
penyiar mulai melukiskan kejadian-kejadian yang aneh, apa yang dikatakan oleh
penyiar tadi, apa yang ia pikirkan dan sebagainya.
Karena saya
tidak berada di tempat itu, saya mungkin sangat tertarik pada keterangannya,
mendengar dengan penuh perhatian, bahkan mungkin dengan perasaan suka cita.
Setelah ia akhiri keteranganya, saya mungkin akan membuat catatan mengenai
kejadian itu, dan selanjutnya akan berbicara mengenai hal lain. sebagai
akbiatnya, ia mungkin merasa “ia tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi
atau bagaimana perasaan saya”. Uraian tersebut cukup menjelaskan bahwa terdapat
2 ungkapan mengenai pengetahuan, yaitu “pengetahuan mengenai”(knowledge about)
dan “pengetahuan tentang (knowledge of). “pengetahuan mengenai” dinamakan
pengentahuan diskursid atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada
perantaranya. “pengetahuan tentang” disebut pengetahuan yang langsung atau
pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung.
Penjelasan
selanjutnya adalah mengenai pengetahuan diskursif dan pengetahuan intuitif.
Henry Bergson, seorang filsuf perancis, berpegang pada perbedaan bahwa
pengetahuan diskursif diperoleh melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba
menagatakan pada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai penerjemah
bagi sesuatu itu. Dengan cara demikian kita memperoleh pengetahuan mengenai
suatu segi atau bagian dari kejadian tadi, tapi tidak pernah mengenai kejadian
itu seluruhnya.
Hanya dengan
menggunakan intuisi, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang kejadian itu,
suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukanya pengetahuan yang nisbi
atau yang melalui perantara.intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan
simbolis, yang pada dasarnya bersifat analitis, dan memberikan kepada kita
keseluruhan yang bersahaja, yang mutlak tanpa suatu ungkapan, terjemahan atau
pengambaran simbolis. Maka menurut Bergson, intuisi ialah suatu sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pegetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intutif.
Selanjutnya
akan dijelaskan mengenai sifat dari pengetahuan intuitif yang tidak dapat
diberitahukan. perhatikanlah, apa yang dikatakan oleh intuisi kepada kita tidak
pernah dapat diberitahukan. Karena untuk memberitahukan kita perlu menterjemahkan ke dalam simbol-simbol,
dan dengan demikian kita bisa berbicara mengenai pengetahuan yang kita peroleh.
Salah satu
diantara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini
memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman disamping pengalaman yang dihayati
oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan
tambahan bagi pengetahuan disamping pengetahuan yang di hasilakan oleh
pengindraan. Kant (penganut aliran
empirisisme) masih tetap benar dengan
mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian
pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya
diingat bahwa intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang
biasa dan pengetahuanyang disimpulkan darinya. Intuisionisme setidak-tidaknya
dalam beberapa bentuk hanya mengatakan
bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari
pengetahuan nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisa: ada
yang berpendirian bahwa apa yang diberikan indera hanyalah yang menampak
belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan intuisi, yaitu kenyataan. Mereka
mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak
kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan
yang senyatanya.
Ada sebuah isme
lagi yang barangkali mirip sekali dengan aliran intuisionisme, namanya
iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama : dalam
islam diesbut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya
bersih. Telah siap “sanggup” menerima pengetahuan dari Tuhan. Boleh dikatakan
sejak awal dan memuncak pada Mullah Sadra.
Kemampuan memperoleh pengetahuan secara langsung ini diperoleh dengan
cara latihan, suluk atau Riyadho.
Kajian Tentang Pentingnya Intuisi Bagi Manusia
Hati ( Intuisi
)adalah organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak
diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak
bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba
saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas,
non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita
rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang
ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi,
bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut
juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja
secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan
hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah.
Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan,
lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat
itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut
supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya
berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja
pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional
dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga
hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa
sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding
an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu
(fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa
terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan
akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi
(meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari
kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus,
misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang
dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa
cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu
jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat
berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan
atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan
hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber
lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan
hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang
mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla
Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
2.7 Aliran Positivisme
Positivisme lahir dalam kancah pemikiran
filsafat modern secar umum berasal dari August Comte, seorang filsuf Perancis yang menganut empirisme. Filsafat
positivisme adalah filsafat yang berorientasi pada realita dan menolak pada
pembahasan mengenai sesuatu yang ada di balik realitas, dengan dasar bahwa akal
manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui entitas apapun yang melintasi
alam indrawi (persepsi) dan alam kasar mata. Pada orientasi relistik itulah,
positivisme logis kontemporer bertolak.
Pada mulanya, positivisme logis muncul di
Wina, Ibu kota Austria. Oleh karena itu, para pendukung pertamanya disebut
dengan lingkaran Wina (Vienna Circle). Kelompok ini terdiri dari mereka yang
menyibukkan diri dengan ilmu-ilmu alam dan matematika. Pada saat yang sama,
mereka tertarik pada kajian-kajian filsafat. Pemimpin kelompok ini adalah
Moritz Schclick (1882-1932 M) yang pernah menjadi guru besar filsafat ilmu
sejak tahun 1922 M. Kelompok ini terus menerus melakukan kajian dan studinya,
juga turut serta dalam berbagai seminar tentang filsafat. Kelompok ini
menerbitkan sebuah majalah khusus tentang filsafat sampai meletusnya perang
Dunia II yang mengakibatkan bubarnya kelompok ini. Sebagian anggotany pergi ke
Inggris semantara yang lain ke Amerika. positivisme logis sekarang ini memiliki
banyak tokoh Jerman, Austria, Inggris, Amerika, dan sebagian negara Eropa
lainnya.
Hal penting bagi positivisme logis yang
pertama adalah bekerja untuk membersihkan filsafat dari semua sebab keruwetan
dan ambiguitas, dengan cara menganalisa bahasa dan ungkapan-ungkapannya, baik
apa yang dikatakan oleh para ilmuan maupun orang awam dalam kehidupan mereka.
Analisa bahasa bertujuan untuk menghubungkan ungkapan-ungkapannya dengan
pengalaman-pengalaman nyata. Oleh karenannya, mereka sampai pada pengakuan
terhadap persoalan-persoalan alamiah dan matematis, karena persoalan alamiah
menggambarkan kenyataan dan pengujian kebenarannya dapat dilakukan dengan
pengalaman. Adapun persoalan matematika mengulan makna-maknanya dengan
simbol-simbol baru dan tidak mengatakan sesuatu, misalnya 2+2=4. Kita menemukan
tidak adanya perbedaan antara kedua makna ekstrim dan kebenarannya berdasarkan
atas harmonisan antara keduanya.
Jadi, pada
dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya
menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain,
ia menyempurnakan metode ilmiah (scintific method) dengan memasukkan perlunya
eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan
empirisme plus rasionalisme.
2.8
Aliran Pragmatisme
Pragmatisme diambil dari kata Pragma
(bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. pragmatisme mula-mula
diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Sedangkan, Menurut Kamus
Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan
penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang
mempunyai akibat-akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme lainnya
adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.
Dengan demikian, Pragmatisme berpandangan
bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan
manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebanaran, jika agama
memberikan kebahagiaan; menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh
kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif
dan kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemadharatan, tindakan yang dimaksud
bukan kebenaran, misalnya memperistri perempuan yang sakit jiwa adalah
perbuatan yang membehayakan dan tidak dapat dikategorikan sebagai serasa dengan
tujuan pernikahannya dalam rangka mencapai keluarga sakinah, mawadah warahmah.
Berikut di antara tokoh-tokoh aliran
pragmatism;
2.8.1 John Dewey
John Dewey dilahiran di Burlington pada
tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru Besar
di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada universitas-universitas
di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan akhirnya di universitas
Colombia (1904-1929). John Dewey adalah
seorang filsuf dari Amerika. Dewey sejak kecil adalah seorang yang gemar
membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya
ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan
gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di
mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas
tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika
dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian,
pengaruh terbesar darang dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis.
Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam
bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi
pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi
kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia
pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada
pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat
sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini.
Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The
Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai
pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam
praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan
tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti,
ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan
pemecahan masalah.
Dewey adalah
seorang pragmatis, menurutnya tujuan filsafat ialah untuk mengatur kehidupan
dan aktivitas manusia secara baik untuk di dunia dan sekarang. Tegasnya, tugas filsafat yang utama ialah
memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh
karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (Experience), dan
menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif kritis. Dengan demikian,
filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Didalam
aliran pragmatisme terdapat kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatan dan
kelemahannya sebagai berikut:
2.5.1 Kekuatan Pragmatisme
Kemunculan pragmatisme sebagai aliran
filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah
membawa kemajuan-kemajuanyan yang pesat baik dalam pengetahuan maupun
teknologi. Pragmatisme telah berhasil “membumikan” dari corak yang bersifat
Tender Minded yang cenderung berfikir metafisi, idealis, abstrak, intelektualis,
dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, matrealis, dan
didasrkan atas kebutuhan-kebutuhan disini(dunia), bukan nanti diakhirat. Dengan
demikian, filsfat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekadar
mempercayai(belief) pada hal-hal yang sifatnya rill, indrawi, dan yang
manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
Pragmatisme telah berhasil mendorong
berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyaksikan segala yang ada. Berangkat dari
sifat skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat
pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep melalui
penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian, dan eksperimen-eksperimen
sehingga muncullah temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan dibidang sosial dan ekonomi.
Sesuai
dengan coraknya yang “sekuler”, pragmatisme tidak mudah percaya pada
“kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti
kebenaranya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui
adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan
kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan
manusia, dan gerak-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2.5.2 Kelemahan Pragmatisme
Karena pragmatisme tidak mau mengakui
sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolut (kebenaran tunggal),
hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara ilmiah, dan percaya bahwa
dunia ini mampu “dibikin” manusia sendiri, secra tidak langsung pragmatisme
sudah mengingkari sesuatu yang trensendental. Kemudian pada perkembangan
lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan
kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada sikap Ateisme.
Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam
filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, dan langsung dapat dinikmati
hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang
materealis. Manusia berusaha secra keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang bersifat ruhanyah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi
oleh penyakit materealisme.
Untuk mencapai tujuan materealisme, manusia
mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya
merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal waktu
hanya sekadar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya
manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme
menderita penyakit humanisme.
Dengan
demikian, bahwa di Negara Amerika serikat atau seluruh dunia yang menganut
paham filsafat John Dewey dan William James kebanyakan mengarah kearah
materealis, ateis, dan dehumanis.Paham pragmatisme mendewakan akal. Padahal
akal itu terbatas, maka hal inilah yang tidak disadari oleh pakar ilmuan barat,
pada hakikatnya yang dilakuakn manusia pasti ada campur tangan tuhan.
2.9 Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme
berasal dari kata “eksistensi” dari kata dasar “existency” yaitu “exist”. Kata
“exist” adalah bahasa latin yang artinya : “ex” keluar dan “sistare” artinya
berdiri. Jadi eksistensialisme adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Dalam membuat definisi eksistensialisme
kaum eksestianlis tidak sama. Namun ada sesuatu yang dapat di sepakati oleh
mereka. Yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Menurut metrealisme manusia itu pada akhirnya adalah benda sama
halnya seperti kayu dan batu. Memang, orang matreaisme tidak mengatakan bahwa
manusia sama dengan benda akan tetapi, matrealisme mengatakan bahwa pada dasarnya, manusia
adalah sesuatu yang materiil.
Eksistensialisme mengatakan bahwa cara
berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapid an
pohon juga berada di dunia akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia
berada di dalam dunia, ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari
dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti
yang di hadapinya. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu di
antaranya manusia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti.apa arti semua ini?
Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang
sadar, barang-barang yang disadarinya disebut objek.
Lalu, dimana kesalahan matrealisme? Ren Le
Senne seorang eksistensialisme, merumuskan kesalahan matrealisme itu secara
singkat. Kesalahan itu ialah detotalisasi. De artinya memungkiri, total artinya
seluruh, maksudnya, memungkiri manusia sebagai keseluruhan. Pandangan
matrealisme itu akan membawa kosekuensi yang amat penting. Lahirnya
eksistensialisme merupakan salah satu dari konsekuensi itu.
Di antara tokoh aliran eksistensialisme
2.9.1 Martin Heidegger
Menurut martin Heidegger, keberadaan hanya
akan dapat dijawab melalui jalan ontology, artinya jika persoalan ini
dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk
ini adalah menemukan arti keberadaan itu.
Keberadaan manusia, yaitu berada di dalam dunia maka ia dapat memberi
tempat kepada benda-benda yang disekitarnya. Sebenarnya benda-benda pada
dirinya tidak mewujudkan dunia. Sebab benda-benda itu tidak dapat saling
menjamah. Karena manusia berada didalam dunia, ia seibu dengan dunia,
mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia dan sebagainya yang oleh Heidegger
didalam kata “besorgen” (memelihara).
Menurut heiddegger, manusia tidak
menciptakan dirinya, tetapi ia dilemparka ke dalam keberadaan. Walaupun
keberadaan manusia tidak mengadakan sendiri, bahkan merukan keberadaan yang
terlempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas keberadaannya itu.
Manusia harus mengrealisasikan kemungkinan-kemungkinanya, tetapi dalam
kenyataanya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan manusia,
yang timbul dari geworfenheid atau situasi terlemparnya itu.
Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang
sebenarnya menghadapi hidup yang semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai
satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hati nya itulah, cara
bereksistensi sebenarnya.
Karakteristik umum aliran ini di antaramya;
2.6.1 Eksistensi mendahului esensi
Pengertian
ini bermakna bahwa manusia ditemukan, setelah itu ia mengakui sisi keistimewaan
dan sifat-sifatnya. Oleh karena itu mereka menyebutkan bahwa manusia bukanlah
eksistensi sempurna, bahkan manusia adalah tendensi (kecendrungan), usaha keras
dan rencana.
2.6.2 Eksistensi Manusia
Eksistensi
yang diperhatikan oleh filsafat Eksistensialisme pada tingkat pertama adalah
Eksistensi manusia. Lawannya adalah Eksistensi zat, atau tegasnya wujud alam
semesta. Dalam pandangan kaum Eksistensialisme setiap entitas bersifat murni
sebagai alat-alat yang digunakan oleh manusia untuk merealisasikan segala
potensinya.
2.6.3 Manusia Merdeka dan Bebas Memilih
Ia memilih
apa yang mungkin bisa diwujudkannya diantara seluruh kemungkinan yang di
berikan kepadanya. Ketika memilih manusia berani menempuh resiko karena ia bias
masuk dalam kesuksesan atau kegagalan.
2.6.4 Eksistensi dan non Eksistensi
Resiko dan
bahaya yang terus menerus mengancam alam Eksistensi menjadikan manusia
merasakan nihilisme. Nihilisme adalah unsur subtansial dan orisinal dalam alam
Eksistensi dan ketiadaan menyingkapkan dirinya pada keadaan gelisah dalam diri
manusia.