Minggu, 03 Desember 2017

STRUKTUR JIWA DAN DINAMIKA KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI ISLAM


A.    Kepribadian Islam dalam Prespektif Psikologis
Dalam kajian psikologi secara umum terdapat ketertarikan psikologi dengan syakhsiyah (personality) atau kepribadian. Kajian Islam klasik, tidak menggunakan syakhsiyah dalam mengungkapkan kepribadian yang Islami yakni dengan akhlak. Pemikira al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih mengungkapkan keterkaitan akhlak dengan syakhsiyah hanya memiliki perbedaan syakhsiyah dalam psikologi berkaitan dengan perilaku yang didevaluasi, sedangkan akhlak berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi. Dapat dipahami syakhsiyah Islamiyyah bisa dikatakan dengan istilah akhlak. Kepribadian Islam selain mendiskripsikan tingkah laku seseorang juga meniali baik dan buruknya.
B.     Struktur dalam Wacana Psikologi Islam
Bericara struktur manusia tidak bisa lepas dengan substansi manusia, pada umumnya terbagi menjadi dua substansi yakni manusia atas jasad dan ruh. Masing-masing berlawanan tapi saling membutuhkan satu sama lain. Karena saling membutuhkan antara keduanya dan kedua natur yang berbeda maka perantara keduanya disebut nafs.
1.      Subtansi Jasmani
Jasad (jisim) aldah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme manusia lebih sempurna dibanding dengan makhluk lain. Setiap makhluk mempunyai sumber unsur yang sama yakni tanah, api, air, dan angin. Empat sumber tersebut akan hidup jika diberi energi kehiupan yang bersifat fisik yang disebut dengan nyawa. Ruh bersifat substansi (jauhar) sedangkan nyawa merupakan sesuatu yang baru (‘aradl) yang juga dimiliki hewan.

Menurut ikhwan as-Shafa menyatakan bahwa jasmani komponen natur inderawi, empirik, dan dapat disifati. Yang terstruktur dari dua substansi yang sederhana dan berakal, yaitu hayula  dan shurah. Substansinya sebenarnya mati kehidupannya bersifat ‘ardl karena berdampingan dengan nafs. Yang bertugas menjadikannya bergerak dan memberi daya dan tanda. Jisim manusia natur buruk yang disebabkan oleh 1) ia penjara bagi ruh 2) mengganggu kesibukan ruh untuk beribadah kepada Allah Swt 3) jasad tidak mampu mencapai makrifat Allah.
2.      Substansi Ruhani
Ruh merupakan substansi psikis menusia yang menjadi esensi kehidupannya. Ruh bersifat halus (jism lathif) dalam terminologi psikologi ruh berbeda dengan spirit karena ruh memiliki arti jauhar sedangkan spirit bersifat ‘aradl (accident). Ruh memiliki natur tersendiri, menurut al-Ghazali ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani, ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui, dan sebagainya. Ia juga sebagai penggerak jasad manusia sifatnya gaib.
Fitrah ruh tidak dibatasi dengan ruang dan waktu. Dapat keluar masuktubuh manusia dan hidup sebelum tubuh manusia ada. Ketika manusia sudah dalam kandungan umur empat bulan malaikat akan meniupkan tuh dalam jasad manusia, setelah itu ruh berubah menjadi nafs (gabungan antara tuh dan jasad).
Pembahasan tentang ruh terbagi menjadi dua bagian pertama ruh yang berhubungan dengan zatnya sendiri, yang disebut dengan munazzalah. Berkaitan dengan asli ruh yang diturunkan dari zat Allah yang esensinya tidak akan pernah berubah yang turun dengan sebutan amanah (dengan membawa kepercayaan atau keimanan dari Allah Swt); kedua ruh yang berhubungan dengan badan jasmani disebut ruh al-gharizah atau disebut dengan nafsaniah.
3.      Substansi Nafsani
Nafs mempunyai banyak pengertian berarti soul, nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan ghadab, kepribadian, substansi psikofisik manusia. Pada substansi nafs ini, komponen jasad dan ruh bergabung. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Natur nafsani antara baik dan buruk, halus dan kasar, dan mengejar. Selain itu, nafsani terikat dan tidak antara ruang dan waktu. Ia subsansi antara abadi dan temporer. Substansi nafs emmeiliki potensi gharizah yang dikaitkan dengan potensi jasad dan ruh maka dapat dibagi menjadi tiga bagian 1) al-Qalb yang berhubungan dengan rasa dan emosi; 2) al-aql yang berhubungan denagn cipta dan kognisi; dan 3) daya al-nafs yang berhubungan dengan karsa dan konasi; yang dijelaskan sebagai berikut
a.       Kalbu
Kalbu (qalbu) merupakan organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Menurut al-Ghazali, kalbu terbagi menjadi dua aspek yakni kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu adalah daging sanubari yang terbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada bagian kiri yang lazimnya disebut dengan jatung (heart). Sedangkan kalbu ruhani yang berhubungan denagn kalbu jasmani yang menjadi esensi manusia.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu memiliki insting yang disebut al-nur al-ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathiniyah (mata batin) yang memancarkan keyakinan. Kalbu ruhani bagian esensi dari nafs manusia. yang berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, dan pengendali struktur nafs yang lain. Apabila kalbu berfungsi normal maka kehidupan manusia akan menjadi baik dan sesuai dengan fitrah manusia yang aslinya.
Menurut sufi, kalbu merupakan sesuatu yang bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakikat sesuatu. Kalbu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui daya cita-rasa (al-zawqiyyah). Kalbu mendapat puncak pengetahuan apabila manusia telah mensucikan dirinya dan mengahsilakn ilham (bisikan suci dari Allah Swt.) dan kasyf  (terbuka dinding yang mengahalangi kalbu).
b.      Akal
Akal secara bahasa berarti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Orang yang berakal adalah orang yang mampu mengikat dan menahan hawa nafsu, jika hawa nafsunya terikat maka jiwa rasionalitas mampu bereksistensi.
Secara jasmani, akal bertempat dalam otak manusia (al-dimagh) yang memiliki cahaya nurani dan dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikah). Akal dapat memperoleh, menyimpan, dan mengeluarkan pengetahuan. Akal berpotensi fitriah yang memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan buruk.
Akal secara psikologis memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengalaman kognisi, mencakup mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan pendapat, mengasumsikan, berimajinasi, memprediksi, berpikir, mempertimbangkan, menduga, dan menilai. Akal pada puncaknya kemampuan mencapai pemahaman abstrak dan akal mustafad, yaitu mampu menerima limpahan pengetahuan dari Allah Swt. melalui akal Fa’al (malaikat jibril).
c.       Nafsu
Nafsu adalah daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadabiyah dan al-syahwatiyah. al-Ghadab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan, menurut psikoanalisa al-ghadab berarti defense (pertahanan, pembelaan, dan penjagaan). al-Syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksikan diri dari segala yang menyenangkan.
Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan dan berusaha mengumbar impuls-implus primitifnya. Dalam pandangan psikologis nafsu memiliki makna konasi (daya karsa), konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkehendak, berkemauan. Nafsu menunjukkan struktur bawah-sadar dari kepribadian manusia. Apabila manusia mengumbar dominasi nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi, baik di dunia dan di akhirat.
C.     Dinamika Kepribadian
Kepribadian menurut psikologi Islam berdasarkan yang sudah diungkapkan sebelumnya “integrasi sistem kalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbukan tingkah laku”. Sedangkan menurut fungsinya kepribadian merupakan integrasi dari daya emosi, kognisi, dan konasi yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara, dan sebagainya) dan tingkah laku dalam (pikiran, perasaan dan sebagainya). Ketiga komponen tersebut saling mengisi akan tetapi diantara terjadi dominasi dari komponen lain. Dalam kondisi khusus antar komponen saling berlawanan, tarik-menarik, dan saling mendominasi untuk bentuk suatu tingkah laku.
Dalam interaksi dalam kepribadian seseorang, kalbu memiliki kondisi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian, darinya diri teraktualisasi positif maupun negatif. Kalbu menjadi penegndali dalam diri manusia dan akan mempertanggung jawabkannya secara langsung kelak di akhirat oleh Allah Swt. ketika kalbu dikendalikan oleh komponen lain yang lebih rendah kedudukannya maka kalbu akan sering berubah-ubah atau tidak stabil.
Macam-macam kepribadian dalam psikologi Islam, sebagai berikut
1.      Kepribadian Ammarah
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasada dan mengejar prinsip-prinsip kenikmatan, yang bersemayam di bawah-sadar manusia. keberadaanya ditentukan oleh dua daya, 1) daya syahwat yang selalu menyalurkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu, dan campur tangan urusan orang lain, dna sebagainya; 2) daya ghadzab yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya.
2.      Kepribadian Lawwamah
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia ingin bangkit memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Kepribadian ini didominasi oleh akal manusia, yang bersifat rasionalistik dan realistik membawa manusia ke tingkat kesadaran. Ibnu Qayyim membagi kepribadian lawwamah dengan dua bagian 1) kepribadian lawwamah malumah yakni kepribadian lawwamah yang bodoh dan zalim; 2) kepribadian lawwamah ghayr malumah yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk memperbaikinya.
3.      Kepribadian Mutmainnah

Kepribadian mutmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempuranaan kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Tingkatan kesadaran kepribadian mutmainnah tingkat kesadaran atas-sadar atau supra-sadar manusia. dinamakan dengan mutmainnah karena kepribadian yang tenang menerima keyakinan fitrah. Keyakinan fitriah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi. Kepribadian ini terbiasa menggunakan metode dzawq (rasa dan cinta) dan ‘ain al-bashirah (mata batin) yang menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan tenang. 

Peran Santri, dalam Kemajuan Global dengan Al-Quran

“Tekankan anak-anak (kita), untuk menggali kemajuan (global) dari Al-Quran”
-KH. Habib Lutfi bin Yahya-

Penggalan kutipan di atas, di ambil ketika pengajian pasanan di kediaman abah Lutfi dalam diskusi tafsir al-Quran. Kutipan tersebut tidak hanya sebatas jajaran kata belaka, kutipan yang penuh makna mendalam yang ditandaskan kepada kita kaum bersarung pembawa Al-Quran (khamlul Quran). Bentuk tanggung jawab besar dalam segi modernisasi pemahaman al-Quran yang diterima seluruh umat manusia, al-quran teks kebenaran mutlak kitab suci karya tangan Ilahi Rabbi.

Ini bukan main-main bagi kaum santri, ketika mereka menghina al-Quran sebagai kitab tanpa pengetahuan, kaum santrilah yang berada pada garda terdepan untuk membentenginya, dan sebagainya persoalan. Santri agen of rahmatan lil alamin, santri berperadaban, berpengalaman, berpengaruh besar, dan intelektualitas yang tiggi. Mungkin setitik ini, akan menjadi bahan baku (raw material) santri dalam penafsiran al-Quran untuk kemajuan global.

Kenyataannya, pengembaraan intelektual seringkali terhenti pada titik tafsir salafussalihin tanpa melanjutkan hingga titik tafsir kemajuan intelektual Amerika dan negara-negara maju lainnya. Krisis semangat ini perlu dibenahi langsung pada individual santri dan civitas academica pesantren. Individul santri dimulai dari kesadaran kemajuan zaman dan kebutuhan masyarakat modern untuk menjadi civil society, untung-untung masyarakat madani ala Rasulullah Saw. Pesantren harus ada pembenahan lebih progresif, mewadahi ilmu pengetahuan dengan bingkai pengetahuan salaf atau bisa dengan menyajikan kepada santri isu-isu global yang harus diselesaikan dengan konsep Islam.

“Tekankan anak-anak (kita)” kutipan ini menambah tugas rumah santri pada peran kemajuannya. Santri dituntut membangun generasi berperadaban, kuat dari tantangan zaman, ber-akhlakul karimah, berpribadi ruhaniah yang tinggi. Bagaimana bisa kita melukiskan lukisan dengan berdaya seni tinggi jika pelukisnya tanpa ada jiwa seni yang tinggi pula, bagaimana bisa kita membangun generasi yang berkualitas jika kita sendiri masih berkutat pada pertentangan khilafiyyah saja. Untuk itu, apa peran santri yang sebenarnya? Dimana ruang lingkupnya? Bagaimanakah santri berkemajuan global melalui larik-larik al-Quran?

Peran dan Tanggung jawab santri

Mengingat kembali seminar temu santri CSSMoRA di Pondok Pesantren Amanatul Ummah di Trawas Mojokerto yang bertema ‘Mempertegas Peran Santri dalam Membangun Bangsa’, Prof. DR. Nur Syam, M.Si menegaskan terdapat tiga peran santri yang paling mendasar, yaitu peran akademis, peran sebagai umat Islam dan peran sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Tiga peran begitu penting untuk disadari oleh santri manapun, karena tigal hal tersebut akan selalu melekat pada santri di manapun tempatnya, yang akan dituntut pengaruhnya kapanpun.

Pertama, peran akademis, yaitu peran santri dalam lembaga pendidikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Perlu diketahui keduanya terdapat di dalam dua jalan yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda pula. Ilmu agama yang berawal dari otoritas tuhan dalam ajaran Islam , dan ilmu pengetahuan berawal dari otoritas Tuhan dalam realita hukum alam (sunnatullah) yang diwadahi oleh metodologi observasi faktual. Namun, akdemisi santri berada dalam dua sisi tersebut, membawa keduanya pada jalur dan niat yang sama supaya batas keduanya menjadi samar sebagaimana era para ilmuan Islam yang telah membangkitkan peradaban kemajuan Islam dengan kemajuan pengetahuan. Melalui semangat ketuhanan atau spiritualitas beragama mengikat pengetahuan pada jalur semestinya.

Kedua, peran santri sebagai umat Islam, umat Islam yang universal yang mampu berdikari sebagai ummatan wasathan (umat yang moderat) bukan ekstrimis, radikal-kriminalis, egoisme, dan sebagainya. Umat islam yang berpegang teguh dengan Iman (berkeyakinan kuat dan benar), Islam (taat beragama), dan Ihsan (umat moderat, berakhlakul karimah, dan spiritualitas ketuhanan yang tinggi). Islam kaffah-lah yang dirasa paling dekat dengan santri yang telah mendalam keagamannya, luar maupun batin. Musuh besar Islam yang perlu ditangani adalah nafsu manusia sendiri, santri diharap menjadi Hero (pahlawan) untuk dirinya dan umat Islam yang lain.

Ketiga, peran santri sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sesungguhnya pondok pesantren sebagai institusi pendidikan paling tua di Nusantara. Santri dan Indonesia, Tokoh dan Bangsa, kader dan Negara, keduanya berkaitan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Santri harus paham apa itu Indonesia, bagaimana masyarakatnya, apa saja problemnya. Santri dituntut sebagai warga Negara yang paling nasionalisme, patriot, fanatik berbangsa dan bernegara Indonesia.  Sebagaimana para  pahlawan jihad ketika resolusi jihad 10 November melawan kolonialisme dalam mempertahankan kemerdekaan NKRI, bagi santri ‘NKRI harga MATI’.

Kemajuan global dengan al-Quran

Kemajuan di muka bumi ini sangat relatif, berbagai istilah muncul kemajuan Negara, kemajuan sosial, kemajuan jiwa, dan lain sebagainya. Kemajuan di sini mengarah pada kemajuan pengetahuan karena dirasa dengan ilmu pengetahuanlah global akan dapat berkembang dengan pesat.

Kemajuan atau peradaban global dipegang oleh pihak yang perpengetahuan tinggi. Dengan kepentingan tertentu mereka berambisi menguasai globalisasi dengan tangan ilmu pengetahuan. Kesadaran ini berpengaruh besar Rennaisans di mana kebebasan berpikir sanagt menunjang pesatnya pengetahuan. Kita umat Islam-khususnya santri- tidak seperti itu, kemajuan pengetahuan di dunia Islam murni karena Allah Swt, bukan kepentingan pribadi.
Mengutip dasar al-Quran yang fokus ilmu pengetahuan, Allah berfirman:

Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. Al-Baqarah [2]:255)

Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. (Q.S. Fathir [35]:14)

Mengajarkan kepadanya cara menyampaikan pandangan. (Q.S. al-Rahman [55]:4)
Nun, demi kalam dan apa yang mereka tuli. (Q.S. al-Qalam [68]:1)

Ilmu, pengetahuan, karya, tulis, dan inovasi. Kutipan kecil di atas siratan firman Allah Swt. Untuk pembaca, pemikir, pengkaji, yakni santri. Santri berkompetensi luhur dipaksa merealisasikan penggalan ayat mulia tersebut, untuk kebaikan global dari Islam untuk global.

Kembali pada kemajuan, sebenarnya sekarang ini kemajuan global sudah pada puncak masanya yang akan terus berkembang hingga kiamat nanti, akan tetapi kemajuan sekarang ini bukan yang diharapkan Islam khususnya harapan al-Quran. Kemajuan yang masih dikendalikan barat, yang bukan dari spiritual-ukrawiyyah tapi nafsu dunyawiyyah.

‘Santri sebagai peran kemajuan global’ mungkin peran tambahan ini terlalu berat, segala hal dalam proses begitupun perkembangan santri masih melalui tahap-tahap untuk menggapainya. Ketika dunia barat berlari, santri telah dapat terbang, hidup yang penuh persaingan dan tantangan. Revolusi pendidikan santri dan paradigmanya harus berjalan lebih cepat, pengetahuan bahasa internasional perlu dikembangpesatkan, referensi kitab salaf bersanding manis dengan gadget dan laboratorium standar internasional, sudah saatnya ilmuan Islam kembali mengharumkan nama Islam kembali jaya. Wallahu A’lam.





Kamis, 18 Agustus 2016

Fakultas Ushuluddin Garda Terdepan UIN

Bandung-  Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung tidak bisa terlepas dengan eksistensi Fakultas Ushuluddin sebagai pondasi dan benteng terkuat akidah-akidah yang benar. Sebagaimana Agama Islam dapat bertahan kokoh dan benar harus dilandaskan oleh akaidah yang benar.

Dalam acara OMB PBSB 2016 UIN Bandung  Jumat (19/08) bapak H. Mulyanah, Lc. Mengungkapakan bahwa Fakultas Ushuluddin merupakan garda terdepan dari UIN dan khususnya memperkokoh Agama Islam “Fakultas Ushuluddin adalah garda terdepan UIN dalam menjaga akidah yang benar dari berbagai pemahaman yang bermacam-macam terutama di Jawa Barat”.


Beliau menambahkan alumni Ushuluddin jangan khawatir tidak bisa menjadi guru. “kalian jangan takut menjadi guru, profesi guru tidak khusus dari tarbiyah saja alumni ushuluddin sangat bisa menjadi guru tertama mengajar akidah di sekolah-sekolah” tambahnya. (RD) 

Minggu, 13 Maret 2016

Perkembangan Sosial Manusia


Manusia diciptakan dimuka bumi ini tidak sendirian, manusia memiliki peran yang sangat besar terhadap bumi dan seisinya yang kemudian dalam Islam diistilahkan sebagai Khalifatul Ardl (Pemimpin muka bumi). Secara umum, Manusia adalah makhluk yang memiliki kesempurnaan yang lebih dibanding makhluk yang lain, antara lain manusia mempunyai akal dan nafsu yang keduanya sangat berpengaruh pada cara hidup manusia dalam memimpin bumi ini. Jika manusia menggunakan otoritas akal dan nafsu yang baik maka lahirlah sirkulasi kebaikan antar manusia sendiri dan makhluk lainnya. Dan juga jika sebaliknya, manusia akan lebih menakutkan dibanding makhluk yang lain, jika nafsu buruk telah mengusai akal pikiran manusia yang diaplikasikan kepada kehidupan sehari-hari, sebagaimana Freud bilang pada dasarnya manusia adalah perusak.
Penjelasan di atas merupakan penjabaran manusia sebagai individu, namun dalam kehidupan nyata manusia tidak akan hidup dengan baik jika tanpa manusia lain yang membantunya itulah yang dinamakan kehidupan sosial manusia. Untuk menjaga hubungan antar manusia sendiri, manusia harus memahami diri sendiri atau konsep diri karena dalam kehidupan sosial akan bergantung pada diri kita sendiri dalam menjalin dengan sesama contohnya dengan menghormati dan saling mengerti.
Konsep diri manusia, dapat dikenali sejak manusia kecil setelah lahir. Ketika manusia mulai mengenal dirinya pasti dibantu oleh lingkungan sosialnya dan itu akan terus berkembang hingga manusia dewasa dan bertemu ajalnya. Jadi hubungan antara konsep diri dan perkembangan sosial manusia sangatlah erat, satu sama lain saling menyempurnakan. Untuk membantu konsep diri manusia, maka perlu mengetahui perkembangan sosial manusia sebagai berikut :
1.     Sadar adanya perbedaan pada dirinya dengan orang sekitarnya (usia 2-6 bulan)
Usia ini masih tergolong manusia bayi, di mana bayi benar-benar makhluk yang belum bisa melakukan apapun sebagai manusia semuanya tergantung pada orang tuanya dan orang di sekitarnya. Pada masa bayi, dia ingin diperhatikan sebagai makhluk individu atau diperhatikan secara khusus. Setelah diperhatikan secara total dengan perlakuan yang memanjakan, bayi kan meyadari adanya kebutuhan dengan orang lain dan sadar adanya perbedaan dirinya.
2.     Mulai menujukkan self recognition dan categorcal-self (usia 18-24 bulan)
Masa prasekolah ini, manusia mulai menampakkan pengenalan diri (self recognition). Anak pada usia ini mulai memiliki identitas untuk mengenalkan dirinya kepada orang lain dan salah satu identitas pengenalnya adalah kemapmuan mengategorikan dirinya dalam kelompoknya sendiri (categorcal-self).
Masa ini, berarti anak mulai dikenalkan dengan perbedaan antar manusia sepert perbedaan kelamin, usia, tinggi, dsb. Walapun tidak secara total dapat menerima perbedaan akan tetapi anak sudah sedikit paham posisinya. Selain anak itu sendiri, sosialnya juga harus menerimanya dengan baik dan memberikan perhatian yang cukup. Masa ini sangat penting bagi kehidupan manusia, jikalau masa ini terbengkalai atau tidak mendapatkan kebahagiaan yang sesuai porsinya maka akan mengganggu perkembangan anak seterusnya.
Pada dimensi sosialnya, anak prasekolah mulai belajar berperilaku yang bersifat psikis contohnya anak sudah memiliki gambaran fisik, merasa memiliki, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
3.     Membicarakan kebutuhan, perasaan, dan keinginan (usia 2-3 tahun)
Dalam masa ini, anak mulai berkembang kognitifnya yang membentuk sebuah kebutuhan dan keinginannya dan berkembang pula daya merasanya atau perasaannya. Jadi anak sudah bisa membicarakannya kepada selain dirinya.  Semua itu dibentuk dan dipengaruhi oleh sosialnya sendiri, semakin tumbuh anak tersebut makin berkembang pula hubungannya dengan sesama. Namun, anak pada usia ini belum menyadari betul bahwa kebutuhan, perasaan, dan keinginan dipengaruhi sosial, adanya anak mengetahui ketiga hal tersebut karena telah merespon dari lingkungannya, dan juga anak bisa menyalurkan ketiganya jika lingkungannya menerimanya.
Adapun pola perilaku sosial pada anak usia ini adalah meniru agar sama dengan kelompok, persaingan dirumahnya dan ketika bermain, kerja sama karena kegiatan kelompok mulai berkembang, simpati dan empati dari orang lain, dukungan sosial dari anak-anak, membagi barang yang dimilikinya dengan sesama.
Hubungannya dengan teman sebaya lebih mendominasi dibanding orang dewasa, karena anak di masa ini cenderung lebih suka bermain bersama temannya. Akan tetapi, anak mulia menggolongkan temannya sendiri sebagai rekan, teman bermain, dan teman baik.
4.      Menyadari kepercayaan dan keinginan (usia 3-4 tahun)
Anak pada usia ini mulai menyadari bahwa kepercayaan dan keinginan merupakan suatu yang berbeda, kepercayaan datang dari orang lain yang menilai dirinya sebagai orang yang baik sesuai pemahaman konsep diri dari sudut pandang orang lain (public self) dan konsep diri yang dinilai oleh subjektifnya diri sendiri yang melahirkan keinginan. Jadi kedua hal tersebut baru disadarinya ketika bergabung dengan lingkungannya, dan disimpulkan oleh anak itu sendiri. Pengaruhnya, anak akan tahu bagaimana anak hadir dan berperan bersama lingukangan sosialnya sendiri.
5.     Usia kelompok (6-11/12 tahun)
Usia ini anak sudah masuk sekolah dasar, menemukan banyak teman baru dan model pendidikan yang lebih besar dari sebelumnya. Usia ini, anak tidak lagi sering bersama dengan keluarganya atau saudaranya sendiri, anak pada usia ini akan mencari teman yang lebih banyak sehingga mereka sering bergabung atau membuat kelompok-kelompok untuk memenuhi kenyamanan dirinya dalam berteman dan bermain. Kelompok teman berbeda dengan teman biasa, karena kerjasama dan hubungan antara anggota kelompok akan makin kuat dan lebih loyal.
Dalam peran sosialnya, anak yang lebih tua akan sosial, agama, ras, dan status sosial ekonomi dari teman sebaya mereka dan mereka menerima streotipe budaya dan sikap dewasa terhadap status ini. Hal ini akan menimbulkan kesadarn kelompok dan dalam beberapa hal terhadap prasangka sosial. Jadi pada usia ini, anak akan sangat paham atribut yang dikenakannya dan dapat memposisikan dirinya sendiri pada kelompoknya.
6.     Konsep diri lebih baik (Remaja, puber-18 tahun)
Masa remaja dimulai dengan pubertas, masa yang berat dalam kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang ada pada ada di dalam dirinya. Perubahan fisik terdapat pada bagian-bagian tertentu yang mungkin membuat tidak nyaman dirinya, perubahan psikis terdapat pada perasaan anak dengan lawan jenisnya berupa ketertarikan sex. Pada awal remaja, anak secara sosial mengalami penurunan oleh sebab perubahan-perubahan  yang datang pada dirinya disertai mindset perubahan itu tidak dapat diterima secara sosialnya.
Namun, makin bertambah usia hal-hal yang membani tersebut akan diterima dengan sendirinya sebagai suatu proses perkembangan. Perkembangan tersebut membantu mereka dalam memahami dirinya sendiri atau konsep diri yang lebih dalam, contohnya mulai menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri dan adaptasi lingkungan yang lebih baik.
7.     Kematangan sosial (Dewasa-akhir hayat)
Manusia dewasa mulai dihadapkan dengan masa depannya sendiri dan telah matang konsep diri/penilaian dirinya oleh dirinya sendiri atau orang lain. Hal ini yang dapat membantu orang dewasa dalam mengembangkan relasi lebih luas yang membantu dirinya menemukan masa depan yang cemerlang. Dan usia 40 tahun ke atas adalah puncaknya kehidupan, orang akan menikmati buah dari perjalanan sosialny sendiri atau malah merasakan sakitnya sosialnya sendiri yang mungkin karena sosial yang tidak baik dsb.
Jadi inilah rentang perjalanan sosial manusia, jika dari kecil berjalan dengan baik maka akan melahirkan lingkungan yang baik pula. Manusia yang paling baik bermanfaat adalah manusia yang bermanfaat pada lingkungan sosialnya. Itu merupakan bentuk peran manusia sebagai khalifatul ardl antara manusia dengan manusia yang lain. Manusia tidak lepas dari sosial, dan sosial akan baik jika terdiri dari orang-orang yang baik pula. 

Rabu, 10 Februari 2016

Aliran-aliran dalam Filsafat

2.1  Aliran Rasionalisme
Pada abad pertengahan, hegemoni antara akal dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada abad itu akal kalah total dan iman menang mutlak. Abad ini telah mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia, padahal tadinya manusia itu sudah membuktikan bahwa ia sanggup maju dengan cepat. Abad ini juga telah di penuhi lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berpikir kreatif, karena pemikirannya berlawanan atau berbeda dengan pikiran tokoh gereja. Abad ini tidak saja lamban, lebih dari itu secara pukul rata filsafat mundur pada abad ini. Jangankan menambah, menjaga warisan sebelumnya pun abad ini tidak mampu. Banyak orang yang jengkel melihat dominasi gereja. Mereka ingin segera mengakhiri dominasi itu. Akan tetapi, mereka khawatir mengalami nasib yang sama dengan kawan-kawannya yang telah di kirim ke akhirat. Sekalipun demikian, ada juga pemberani yang sanggup melawan arus deras itu. Orang itu adalah Rene Descartes. Sebelum mempelajari pemikiran para tokoh rasionalisme tersebut, kita akan mengurai ulasan tentang rasionalisme.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan di peroleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Rasionalisme ada dua macam; dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, rasionalisme adalah lawan autoritas, sedangkan dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya di gunakan untuk mengkritik ajaran agama. Rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas adalah pemahaman kita tentang logika dan matematika.
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali. Thales menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini di lanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga beberapa tokoh sesudah itu. Pada zaman modern fisafat, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes. Para filsuf rasionalisme adalah mereka yang; pertama, mengatakan bahwa kekuatan akal pada diri manusia yang dalam pandangan mereka merupakan sesuatu kekuatan instinktif adalah sumber dari semua ilmu yang hakiki, atau merupakan sumber dari dua sifat dari ciri ilmu hakiki secara khusus, yaitu urgensitas (dharrurah) dan kebenaran mutlak (al-shidq al-mutlaq). Kedua, berkaitan dengan alam kosmik, para penganut madzhab rasionalisme menerima adanya wujud spiritual atau rasio yang merupakan asal usul dari segala entitas. Di antara tokoh madzhab rasionalisme ini adalah; Rene Descartes, Leibniz, Spinoza.
2.1.1 Rene Descartes
Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. Bukunya yang terpenting di dalam filsafat murni ialah Discours de la Methode (1637) dan Meditations (1642). Kedua buku ini saling melengkapi satu sama lain. Di dalam kedua buku inilah ia menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt). Metode ini sering juga di sebut Cogito Descartes, atau metode Cogito saja.
Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tookoh gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Tokoh-tokoh gereja pada waktu itu tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana  tersirat di dalam jargon Credo ut Intelligam dari Anselmus itu. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasi yang sangat terkenal. Argumentasi itu tertuang  di dalam metode Cogito tersebut.
Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Rene Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat di ragukan. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat di indera, objek yang sebenarnya tidak mungkin di ragukan. Inilah langkah pertama metode Cogito tersebut. Dia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Tidak ada batas yang tegas antara keadaan tersebut dengan jaga (nyata).
Pada langkah pertama ini Descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat di indera. apa sekarang yang dapat di percaya, yang sungguh-sungguh ada ? Menurut Rene Descartes, dalam keempat keadaan tersebut (mimpi, halusinasi, ilusi, roh halus), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada seuatu yang muncul, baik dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu muncul itu ialah; gerak, jumlah, dan besaran (volume). Pada tahap kedua ini, Rene Descartes mengajak kita berpendapat bahwa yang tiga inilah yang lebih ada daripada benda-benda. Ketiga macam ini lebih meyakinkan adanya. Mungkin ketiga inilah yang benar-benar ada.
Setelah Rene Descartes menguji ketiga hal tersebut, ia kemudian meragukannya. Yang tiga macam itu adalah matematika. Kata Descartes, “matematika dapat salah”. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti daripada benda, tetapi saya masih dapat meragukannya. Jadi, benda dan ilmu pasti di ragukan. Kalau begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat ku jadikan dasar filsafatku ? Aku ingin yang pasti, yang distinct. Sampailah ia sekarang pada tahap ketiga dalam metode Cogito.
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Karyanya yang berjudul A Discourse on Methode mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal berikut;
2.1.1.1  Kebenaran baru di nyatakan benar jika telah benar-benar inderawi dan realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distinctly), sehingga tidak ada suatu kerraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.1.1.2  Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pin yang mampu merobohkannnya.
2.1.1.3  Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
2.1.1.4  Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus di buat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga di peroleh keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan, demikian katanya. Bahkan tidak ada satu setan yang licik pun dapat mengganggu aku. Tak seorang skeptis pun dapat meragukannya, yaitu “saya sedang ragu”. Jelas sekali, saya sedang ragu. Tidak dapat di ragukan bahwa saya sedang ragu. Begitu distinct saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan misalnya, atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai “saya sedang ragu”, benar-benar tidak dapat saya ragukan adanya.
Aku yang sedang ragu itu di sebabkan oleh aku yang berpikir. Kalau begitu, aku berpikir pasti ada dan benar jika aku berpikir ada, berarti aku ada, sebab yang berpikir itu aku. Cogito Ergo Sum (aku berpikir, jadi aku ada).
Sekarang, Rene Descartes telah menemukan dasar bagi filsafatnya. Dasar itu adalah aku yang berpikir. Pemikiranku itulah yang pantas di jadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir itulah yang benar-benar ada, tidak di ragukan, bukan kamu atau pikiranmu.
2.1.2 Leibniz
Gottfried W. Leibniz lahir pada tanggal 1 Juli 1646 di Leipzig, Jerman. Ia merupakan penganut filsafat rasionalisme Descartes, yakni pengetahuan manusia yang sesungguhnya di peroleh dengan akal dan panca indera, bukan dari pengalaman (empirisme).
Salah satu pemikiran Gottfried Wilhelm Liebniz ialah tentang subtansi. Menurutnya ada banyak substansi yang di sebut dengan “monad” (monos = satu, monad = satu unit). Jika dalam matematika yang terkecil adalah titik, dan dalam fisika di sebut dengan atom, maka dalam metafisika di sebut dengan “monad”. Monad adalah sebutan substansi terkecil dalam metafisika yang cukup diri dan terisoloasi, berpisah diri, yang tak saling berinteraksi dengan substansi-substansi kecil lainnya. Substansi itu bukan benda jasmaniah. Ia murni spiritual-mental. Karena itu, monad tak berkeluasan. Ia semacam daya purba (force primitives). Terkecil dalam pendapat Leibniz bukan berarti sebuah ukuran, melainkan sebagai tidak berkeluasan. Maka yang di maksud dengan monad bukan sebuah benda. Setiap monad berbeda antara yang satu dari yang lain dan Tuhan (Supermonad dan satu-satunya monad yang tidak di cipta) adalah pencipta monad-monad itu. Monad tidak mmpunyai kualitas. Karenanya hanya Tuhan yang benar-benar mengetahui setiap monad. Sebagai subtansi nonmaterial, monad bersifat;
2.1.2.1 Abadi, tidak bisa di hasilakan, ataupun di musnahkan;
2.1.2.2 Tidak bisa di bagi;
2.1.2.3 Individual atau berdiri sendiri, sehingga tidak ada monad yang identik dengan monad lain;
2.1.2.4 Mewujudkan kesatuan yang tertutup atau tidak berjendela, seolah-olah sesuatu bisa masuk atau keluar;
2.1.2.5 Tidak beruang dan berwaktu.

2.1.3 Spinoza
Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24 November 1632. Di masa kecilnya Spinoza telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa dia bisa menjadi seorang rabbi.
Dalam kehidupannya dia tidak hanya belajar tentang matematika dan ilmu alam, tetapi ia juga mampalajari bahasa latin, seperti; Yunani, Belanda, Perancis, Yahudi, Jerman dan Italia. Pada usia yang ke-18, Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia mergukan kitab suci sebagai wahyu Allah, mengkritik imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh dan keterlibatan Allah secara personal dalam sejarah kehidupan manusia. Pada tahun 1956 Spinoza di kucilkan, tetapi dia tidak pernah bingung dengan keadaan ini. Dia selalu bersikap tenang dalam menghadapi situasi ini. Hingga pada akhirnya dia mengganti namanya dengan Benedictus de Spinoza sebagai tanda kehidupan barunya.
Spinoza merupakan salah satu tokoh filsafat pada abad modern yang mempunyai pemikiran yang di akui oleh dunia. Banyak orang yang tidak setuju dengan ajarannya. Orang-orang yang tidak setuju dengan ajaran Spinoza ini adalah para kaum Yahudi. Pemikiran Spinoza ini banyak di pengaruhi oleh pemikiran Rene Descartes. Pemikirannya bersifat rasionalisme. Para tokoh filsafat yang mempunyai pemikiran rasionalisme ini percaya atau berpendirian bahwa sumber pengetahuan manusia itu terletak pada akal. Tetapi bukan di maksudkan bahwa rasionalisme mengingkari pengalaman tetapi pengalaman di anggap sebagai perangsang bagi pemikiran. Mereka percaya bahwa kebenaran dan kesesatan berasal dari ide kita sendiri. Jika kebenaran menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya ada dalam pemikiran kita saja dan dapat di peroleh dari akal budi kita. Menurut dia, ilmu pengetahuan yang dapat di percaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang di peroleh lewat akal yang memenuhi syarat yang di tuntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal menurutnya dapat di peroleh kebenaran dengan metode deduktif seperti yang di contohkan dalam ilmu pasti.
Kata kunci dalam ajaran Spinoza adalah Deus Sive Nature (Allah atau Alam). Sebagai Allah, alam adalah Natura Naturans (alam yang melahirkan). Sebagai dirinya sendiri alam adalah Natura Naturata (alam yang di lahirkan), yaitu nama untuk Allah dan Alam yang sama. Bagi Spinoza hanya ada satu substansi yang ada di dunia ini yang sering disebut dengan pemikiran substansi tunggal yaitu Allah atau alam. Substansi merupakan sesuatu yang ada pada diri seseorang atau ada pada dirinya yang bersifat abadi, tidak terbatas, mutlak dan utuh. Sifat tersebut hanya di miliki oleh Allah. Apabila substansi tunggal itu adalah Allah, maka segala yang ada di dunia ini, baik jasmaniah maupun rohaniah adalah kehendak Allah. Segala sesuatu itu bisa di ciptakan atau di musnahkan atas kehendak Allah.
Spinoza mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Menurutnya, pemikiran adalah jiwa dan keluasan tubuh yang eksistensi keduanya sama atau berbarengan. Pemikiran manusia itu sangat penting bagi kelangsungan hidupnya. Semua manusia itu akan berpikir dan bertindak sesuai dengan pemikrannya.
Garis besar dari pemikiran Spinoza adalah pemikiran yang di dasari oleh akal. Menurutnya, dalam suatu pemikiran itu di dominasi oleh akal atau dengan kata lain bahwa akal yang paling penting. Segala ilmu pengetahuan itu berasal dari akal karena pengetahuan yang bersumber dari akal itu merupakan pengetahuan yang benar dan dapat di percaya. Semua manusia itu akan menggunakan akalnya dalam berbagai hal untuk kebutuhan dalam hidupnya. Misalnya saja semua orang itu akan mempertahankan diri dari segala sesuatu yang dia anggap akan membahayakan dirinya. Hal tersebut merangsang manusia untuk berpikir bagaimana cara supaya ia dapat mempertahankan dirinya. Selain usaha untuk mempertahankan diri, hal yang merangsang pemikiran atau akal manusia adalah adanya pengalaman. Banyak orang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Hal itu memang benar karena dari pengalaman sebelumnya yang dianggap buruk orang akan berpikir bahwa dia tidak akan mengulangi hal tersebut dan akan berhati-hati. Akal itu mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia dan sangat menentukan bagi kelangsungannya.

2.2  Aliran Empirisme
Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara obsevasi/pengindaraan. Peengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan manusia.
Empirisme berasal dari kata Yunani “empiris” yang berarti pengalaman indrawi. Karena itu, empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan rasionalisme.
Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, karena itu pengenalan indrawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan indrawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Seorang yang yang beraliran empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan di dapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. Ini berarti bahwa semua pengetahuan,betapa pun rumitnya, dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman indrawi dan apa yang tidak dapat dilacakbukan pengetahuan.
Lebih lanjut, penganut empirisme mengatakan bahwapengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat indrawi, yang kemudian dipahami di dalam otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan. Penganut aliran ini menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasarilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Kelemahan aliran ini adalah;
2.2.1       Indra sifatnya terbatas;
2.2.2       Indra sering menipu;
2.2.3       Objek juga menipu, seperti ilusi/fatamorgana;
2.2.4       Indra dan sekaligus objeknya.
Jadi, kelemahan empirisme ini karena keterbatasan indera manusia sehingga muncullah aliran rasionalisme.
Berikut di antara tokoh-tokoh aliran empirisme;
2.2.1       Francis Bacon(1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya bahwa kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Menurut Bacon, ilmu yang benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian diperkuat oleh sentuhan indrawi.
2.2.2       Thomas Hobbes(1588-1679 M)
Sebagaimana umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan, yaitu penggabungan data-data indrawi yang sama dengan cara berlain-lainan. Tentang dunia dan manusia, ia dapat dikatakan sebagai penganut materialisme. Oleh karena itu, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis yang pertama dalam sejarah modern. Berbeda dengan Francis Bacon yang meletakkan eksperimen-eksperimen sebagai metode penelitian, Hobbes memandangnya sebagai doktrin.
2.2.3       Jhon Locke(1632-1704 M)
Ia adalah filosof Inggris yang banyak mempelajari agama Kristen. Filsafat Locke dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descrates, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descrates. Ia juga menolak metode deduktif Descrates dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman atau disebut induksi. Bahkan, Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.
Locke termasuk orang yang mengagumi Descrates, tetapi ia tidak menyetujui ajaranya. Bagi Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran  kertas putih” (as a white paper) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi Locke pengalaman ada dua: pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal. Roh manusia bersifat pasif dalam menerima ide-ide tersebut. Namun demikian, roh mempunyai aktifitas juga, karena dengan menggunakan ide-ide tunggal sebgai batu bangunan, roh manusiawi dapat membentuk ide majemuk. Locke kemudian menyatakan bahwa dalam dunia luar memang ada substansi-substansi, tetapi kita hanya mengenai ciri-cirinya saja.
2.2.4       David Hume (1711-1776 M)
Menurut para penulis sejarah filsafat, empirisme berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang paling radikal, terutama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat) yang menjadi objek kritiknya. Ia tidak menerima substansi, sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama (misalnya:putih,licin,berat, dan sebagainya). Akan tetapi, atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang ciri-ciri itu masih ada suatu substanti (misalnya: sehelai kertas yang mempunyai ciri-ciri tadi). Sebagai seorang empiris, Hume tampak lebih konsekuensi daripada Berkeley
2.2.5       George Berkeley(1665-1753 M)
Berkeley yang lahir di Irlandia ini menjadi uskup Anglikan di Clyone (Irlandia). Sebagai penganut empirisme, Berkeley mencenangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prnsip-prinsip empiris. Jika Locke masih menerima substansi-substansi diluar kita, Barkeley berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi materiil, yang ada hanyalah pengalaman dalam roh saja. Esse estpercipi(Being is being perceived), yang artinya bahwa dunia materiil sama saja dengan ide-ide yang sama alami. Demikian pula, menurut pemikiran Barkeley, ide-ide membuat saya melihat suatu dunia materiil.
2.2.6       Herbert Spencer(1820-1903 M)
Filsafat Herbert Spencer berpusat pada teori evolusi. Sembilan tahun sebelum terbit karya Darwin yang terkenal, The Origen of Species (1859 M), Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi. Empirismenyater lihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut Spencer, kita hanya dapat menggali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar di belakang gejala-gejala itu ada suatu dasar absolut, tetapi yang itu tidak dapat kita kenal secara prinsip, pengenalan kita hanya menyangkut relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer disebut yang tidak diketahui (the great unknowable).  Sudah jelas, menurut Spencer, metafisika menjadi tidak mungkin.
2.3    Aliran Kritisisme  
Kehadiran aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang dari tujuan semula. Pada satu sisi landasan berfikir aliran rasionalisme yang bertolak dari rasio dan di lain sisi empirisme yang lebih mendasarkan pada pengalaman seolah sudah sempurna, padahal kedua tawaran tersebut bukan jawaban yang tepat. Tokoh yang paling menolak kedua pandangan di atas adalah Immanuel Kant (1724-1804 M).
Kant berusaha menawarkan perspektif baru dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap pertikaian itu dengan filsafatnya yang di namakan kritisisme. Untuk itulah ia menulis tiga bukunya yang berjudul : kritik der reinen vernunft ( kritik rasio murni), kritik der urteilskraft, dan lainnya. Bagi Kant, dalam pengenalan indrawi selalu sudah ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu.  Kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subjek yang mengindra, tetapi realitas tidak pernah di kenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesis antarayang di luar (aposteriori) dan ruang waktu (a priori). 
Menurut I.Kant peranan budi sangat penting sekali, hal ini tampak dalam pengetahuan apriorinya, baik yang analitis maupun yang sintetis. Disamping itu, peranan pengalaman (empiris) tampak jelas dalam pengetahuan aposteriorinya
Dalam kritik atas Rasio Murni,  I. Kant membedakan tiga macam pengetahuan
2.3.1       Pengetahuan analisis : predikat sudah termuat dalam subjek. Predikat di ketahui melalui suatu analisis subjek. Misal, lingkungan itu bulat.
2.3.2       Pengetahuan sintetis aposteriori : predikat di hubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi. Misal, kalimat “hari ini sudah hujan”,merupakan suatu hasil observasi indrawi  “sesudah” observasi saya, saya bisa mengatakan bahwa S adalah P.
2.3.3       Pengetahuan sintetis apriori : akal budi dan pengalaman indrawi di butuhkan serentak. Ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam bersifat sintesis apriori. Kalau saya tahu bahwa 10+5 = 15 memang terjadi sesuatu yang sangat istimewa.  ( Abbas Hamami, 1982 ).
2.4    Aliran strukturalisme

Strukturalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan  kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap. Pemikiran ini menggunakan pendekatan terhadap ilmu-ilmu humaniora yang mencoba menganalisis fenemona semiotik  (sebagai sistem tunda), atau lebih longgar sebagai sistem bagian yang saling berhubungan.

Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran filsafat:

1.     Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Disini ilmu-ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi Dilthey disebut Geistewissenschaften yang dibedakan dengan ilmu pengetahuan alam atau Naturwissenschaften.

2. Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang munculdalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan alam.

Metodologi
Strukturalisme sebagai metode berpikir dalam memahami realitas dimulai oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913 M), seorang ahli Linguistik yang mempelajari bahasa dari sudut pandang strukturnya.Menurut Ferdinand de Saussure Strukturalisme memiliki dua pengertian, yaitu: 1. Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip- prinsip Linguistik. 2. Strukturalisme adalah aliran filsafat yang hendak memahami manusia, sejarah dan kebudayaan serta hubungan kebudayaan dengan alam dengan memakai metode struktural. Strukturalisme menyelidiki pola-pola dasar yang tetap dalam berbgai realitas. 3. Metode yang dipakai dalam strukturalisme ialah metode instropektif. Metode introspeksi ialah orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan kembali pengalamannya atau perasaannya setelah ia melakukan suatu eksperimen. Sensasi seperti manis, pahit, dingin dapat diidentifikasi memakai introspeksi.
Tokoh-tokoh Strukturalisme
1.     Ferdinand De Saussure dalam linguistik.
            Sebagai penemu stuktur bahasa, Saussure berargumen dengan melawan para sejarawan yang menang dalam pendekatan filologi. Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati dari sistem terdiri dari elemen dan peraturannya dalam  pembuatannya yang bertujuan menolong komnunikasi dalam masyarakat. dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah social fact, yang berdasar pada objektivitas di mana psikologi dan tatanan sosial dipertimbangkan Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung) dari tanda tanda diskusif yand dibagikan oleh sebuah komunitas. Bahasa bagi Saussure adalah modal interpretasi utama dunia, dan menuntut suatu ilmu yang disebutsemiologi.
2.     Levi-Strauss dalam masyarakat.
Metode Strauss adalah anthropologi dan linguistik secara serempak. Unsur-unsur yang digelutinya adalah mengenai mitos, adat-istiadat, dan masyarakatnya sendiri. Dalam proses analisisnya, manusia kemudian dipandang sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak dikonstitusikan oleh analisis itu, melainkan dilarutkan dengan analisis. Perubahan penekanan dari manusia ke struktur merupakan ciri umum  pemikiran strukturalis.
3.     L.S Vygostsky, Jacques Lacan dan Jean Piaget dalam psikologi
 Jacques Lacan (Freudian) dalam psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan Levi-Strauss untuk menekankan pendapat Sigmund Freud dengan bahasa dan argumen yang, sebagai sebuah tatanan kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang itu. Hal ini masalah, bahwa bahasa selalu bergerak dan dinamis, termasuk metafora, metonomi, kondensasi serta pergeserannya. Jean Piaget sendiri menggambarkan Strukturalismenya sebagai sebuah struktur yang terpadu, yaitu yang unsur-unsurnya adalah anggota dari sistem di luar struktur itu sendiri. Sistem itu ditangkap melalui kognisi anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.
4.     Roland Berthes
Menerapkan analis strukturalis pada kritik sastra dengan menganggap berbagai macam ekspresi atau analisis bahasa sebagai bahasa yang berbeda-beda Tugas kritik sastra adalah terjemahan, yaitu mengekspresikan sistem formal yang telah dibentangkan penulisnya dengan suatu bahasa. Hal ini terkait dengan kondisi zamannya.
5.     Michel Foucault dalam filsafat.
Strukturalisme modern atau poststrukturalisme dalam bidang filsafat adalah dengan mendekati subjektivitas dari generasi dalam berbagai wacana epistemik dari tiruan maupun pengungkapannya. Sebagaimana peran isntitusional dari  pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan pelestarian disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial juga berlaku pendekatan itu. Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di dalam perubahan teori dan praktek dari kegilaan,kriminalitas, hukuman, seksualitas, kumpulan catatan itu dapat menormalisasi setiap individu dalam pengertian mereka.
6.     Guenther Schiwy dalam kekristenan
Strukturalisme terkait kekristenan dalam atemporal sturkturalisme sebenarnya cocok dengan penekanan eternalistik kekristenan. 2.3 Metodologi Strukturalisme sebagai aliran filsafat yang bereaksi terhadap subjektivisme yang didewakan oleh Eksistensialisme mempunyai ciri-ciri:
1. “Desentralisasi” manusia.
2. “Kematian” manusia sebagai subjek.
3. Manusia dibicarakan dalam rangka struktur bahasa, sosial, ekonomi, dan politik.  
2.5    Aliran Fenomenologi
Seorang ahli berpandapat bahwa fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan suatu madzhab filsafat. Sementara itu, anggpan para ahli tertentu lebih mengartikan fenomenologi  sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat. Khusus dalam pengertian aliran filsafat, beberapa ahli berpendapat bahwa dengan fenomenologi sebagai madzhab filsafat telah menjadi inkonsistensi, antara lain anjuran untuk membebaskan dari asusmsi-asusmi dalam reduksinya. Sebagai madzhab filsfata, pada kenyataannya, fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai dasarnya.
Edmund Husserl, seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalitas atau pengarahan melahirkan filsfat fenolomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Dalam pengrtian suatu metode, Kant dan Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat diamati hanyalah fenomena, bukna neumenon atau sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terhadap hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni sehingga butuh reduksi. Jadi, pengamatan biasa (netuerliche einstellung) akan menimbulkan bias. Meskipun pengamatannya merupakan hal biasa pada manusia umumnya, hal tersebut tidak memuaskan filosof dan orang-orang yang menginginkan kebenaran secara murni, yaitu:
1)     Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif.
2)     Membebaskan diri dari kungkungan teori dan hipotesis.
3)     Membebaskan diri doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi tingkat pertama, reeduksi fenomeologi atau reduksi epochal, fenomen ayang digadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, perlu reduksi yang kedua, yang disebut reduksi eiditis (eiditische reduktion). Melalui reduksi yang kedua, fenomen ayang terjadi mampu mencapai inti atau esensi (eidos). Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selainkedua reduksi tersebut, ada pula reduksi yang ketiga dan berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apapun, serta mencari kebenaran yang tertinggi. Seorang kritikus fenomenologi menyindir reduksi-reduksi tersebut dengan mengatakan bahwa fenomenologi itu seperti upaya menajamkan pisau untuk mencapi taraf ketajaman yang prima. Pengasahan dilkukan secara terus menerus, berulang-ulang hingga tajam, dan akhirnya pisau tersebut itu habis. Selain sebagai metode untuk mencapai kebenaran, fenomenologi juga berkembang sebagai aliran atau ajaran filsafat.[1] 

2.6    Aliran Intuisionisme
Henri Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. ia menganggap, tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Obyek-obyek kita tangkap itu adalah obyek yang selalu berubah, demikian Bergson. Jadi pengetahuan kita tentangnya tidak lengkap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu obyek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada obyek itu, jadi dalam hal seperti itu manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak juga dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada obyek. Akal hanya mampu memahami bagian-bagian dari obyek, kemudian bagian-bagian itu digabungkan oleh akal. Itu tidak sama dengan pengetahuan menyeluruh tentang obyek itu. Misalnya ; adil. Apa itu adil ? Akal memahaminya dari segi si terhukum, timbul pemahaman akali : memahaminya dari segi hakim, timbul pemahaman akali ; memahaminya dari segi keluarga si terhukum, timbul pemahaman akali : dari segi jaksa dan seterusnya. Dapat di simpulkan, adiol adalah jumlah pemahaman akali itu. Itu belum tentua benar, disinilah intuisionisme masuk.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, Bergsion mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intusi. Ini adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini memerlukan usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Intuisi ini menangkap obyek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap.
Untuk lebih jelasnya Loius O.Kattasof memberikan sebuah contoh. Misalnya,saya minta agar seseorang menceritakan apa yang terjadi setelah siaran yang menggambarkan tentang “penyerbuan dari planet mars”. Kita anggap ia termasuk salah seorang yang terlibat sebagai pendengar. Sudah tentu ia akan melukiskan apa yang telah dikerjakannya. Ketika mendengarkan siaran tersebut; bagaimana perasaanya ketika penyiar mulai melukiskan kejadian-kejadian yang aneh, apa yang dikatakan oleh penyiar tadi, apa yang ia pikirkan dan sebagainya.
Karena saya tidak berada di tempat itu, saya mungkin sangat tertarik pada keterangannya, mendengar dengan penuh perhatian, bahkan mungkin dengan perasaan suka cita. Setelah ia akhiri keteranganya, saya mungkin akan membuat catatan mengenai kejadian itu, dan selanjutnya akan berbicara mengenai hal lain. sebagai akbiatnya, ia mungkin merasa “ia tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi atau bagaimana perasaan saya”. Uraian tersebut cukup menjelaskan bahwa terdapat 2 ungkapan mengenai pengetahuan, yaitu “pengetahuan mengenai”(knowledge about) dan “pengetahuan tentang (knowledge of). “pengetahuan mengenai” dinamakan pengentahuan diskursid atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada perantaranya. “pengetahuan tentang” disebut pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung.
Penjelasan selanjutnya adalah mengenai pengetahuan diskursif dan pengetahuan intuitif. Henry Bergson, seorang filsuf perancis, berpegang pada perbedaan bahwa pengetahuan diskursif diperoleh melalui penggunaan simbol-simbol yang mencoba menagatakan pada kita mengenai sesuatu dengan jalan berlaku sebagai penerjemah bagi sesuatu itu. Dengan cara demikian kita memperoleh pengetahuan mengenai suatu segi atau bagian dari kejadian tadi, tapi tidak pernah mengenai kejadian itu seluruhnya.
Hanya dengan menggunakan intuisi, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang kejadian itu, suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukanya pengetahuan yang nisbi atau yang melalui perantara.intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analitis, dan memberikan kepada kita keseluruhan yang bersahaja, yang mutlak tanpa suatu ungkapan, terjemahan atau pengambaran simbolis. Maka menurut Bergson, intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau  pegetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intutif.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai sifat dari pengetahuan intuitif yang tidak dapat diberitahukan. perhatikanlah, apa yang dikatakan oleh intuisi kepada kita tidak pernah dapat diberitahukan. Karena untuk memberitahukan kita   perlu menterjemahkan ke dalam simbol-simbol, dan dengan demikian kita bisa berbicara mengenai pengetahuan yang kita peroleh.
Salah satu diantara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman disamping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan disamping pengetahuan yang di hasilakan oleh pengindraan. Kant (penganut  aliran empirisisme)  masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat bahwa intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuanyang disimpulkan darinya. Intuisionisme setidak-tidaknya dalam  beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisa: ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan indera hanyalah yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya.
Ada sebuah isme lagi yang barangkali mirip sekali dengan aliran intuisionisme, namanya iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama : dalam islam diesbut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya bersih. Telah siap “sanggup” menerima pengetahuan dari Tuhan. Boleh dikatakan sejak awal dan memuncak pada Mullah Sadra.  Kemampuan memperoleh pengetahuan secara langsung ini diperoleh dengan cara latihan, suluk atau Riyadho.
Kajian Tentang Pentingnya Intuisi Bagi Manusia
Hati ( Intuisi )adalah organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.

2.7    Aliran Positivisme
Positivisme lahir dalam kancah pemikiran filsafat modern secar umum berasal dari August Comte, seorang filsuf  Perancis yang menganut empirisme. Filsafat positivisme adalah filsafat yang berorientasi pada realita dan menolak pada pembahasan mengenai sesuatu yang ada di balik realitas, dengan dasar bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui entitas apapun yang melintasi alam indrawi (persepsi) dan alam kasar mata. Pada orientasi relistik itulah, positivisme logis kontemporer bertolak.
Pada mulanya, positivisme logis muncul di Wina, Ibu kota Austria. Oleh karena itu, para pendukung pertamanya disebut dengan lingkaran Wina (Vienna Circle). Kelompok ini terdiri dari mereka yang menyibukkan diri dengan ilmu-ilmu alam dan matematika. Pada saat yang sama, mereka tertarik pada kajian-kajian filsafat. Pemimpin kelompok ini adalah Moritz Schclick (1882-1932 M) yang pernah menjadi guru besar filsafat ilmu sejak tahun 1922 M. Kelompok ini terus menerus melakukan kajian dan studinya, juga turut serta dalam berbagai seminar tentang filsafat. Kelompok ini menerbitkan sebuah majalah khusus tentang filsafat sampai meletusnya perang Dunia II yang mengakibatkan bubarnya kelompok ini. Sebagian anggotany pergi ke Inggris semantara yang lain ke Amerika. positivisme logis sekarang ini memiliki banyak tokoh Jerman, Austria, Inggris, Amerika, dan sebagian negara Eropa lainnya.
Hal penting bagi positivisme logis yang pertama adalah bekerja untuk membersihkan filsafat dari semua sebab keruwetan dan ambiguitas, dengan cara menganalisa bahasa dan ungkapan-ungkapannya, baik apa yang dikatakan oleh para ilmuan maupun orang awam dalam kehidupan mereka. Analisa bahasa bertujuan untuk menghubungkan ungkapan-ungkapannya dengan pengalaman-pengalaman nyata. Oleh karenannya, mereka sampai pada pengakuan terhadap persoalan-persoalan alamiah dan matematis, karena persoalan alamiah menggambarkan kenyataan dan pengujian kebenarannya dapat dilakukan dengan pengalaman. Adapun persoalan matematika mengulan makna-maknanya dengan simbol-simbol baru dan tidak mengatakan sesuatu, misalnya 2+2=4. Kita menemukan tidak adanya perbedaan antara kedua makna ekstrim dan kebenarannya berdasarkan atas harmonisan antara keduanya.
Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scintific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.
2.8        Aliran Pragmatisme
Pragmatisme diambil dari kata Pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Sedangkan, Menurut Kamus Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat-akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme lainnya adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.
Dengan demikian, Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebanaran, jika agama memberikan kebahagiaan; menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif dan kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemadharatan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misalnya memperistri perempuan yang sakit jiwa adalah perbuatan yang membehayakan dan tidak dapat dikategorikan sebagai serasa dengan tujuan pernikahannya dalam rangka mencapai keluarga sakinah, mawadah warahmah.
Berikut di antara tokoh-tokoh aliran pragmatism;
2.8.1       John Dewey
John Dewey dilahiran di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan akhirnya di universitas Colombia (1904-1929).  John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika. Dewey sejak kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh terbesar darang dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.
Dewey adalah seorang pragmatis, menurutnya tujuan filsafat ialah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara baik untuk di dunia dan sekarang.  Tegasnya, tugas filsafat yang utama ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (Experience), dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Didalam aliran pragmatisme terdapat kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatan dan kelemahannya sebagai berikut:
2.5.1 Kekuatan Pragmatisme
Kemunculan pragmatisme sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuanyan yang pesat baik dalam pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil “membumikan” dari corak yang bersifat Tender Minded yang cenderung berfikir metafisi, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, matrealis, dan didasrkan atas kebutuhan-kebutuhan disini(dunia), bukan nanti diakhirat. Dengan demikian, filsfat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekadar mempercayai(belief) pada hal-hal yang sifatnya rill, indrawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyaksikan segala yang ada. Berangkat dari sifat skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep melalui penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian, dan eksperimen-eksperimen sehingga muncullah temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan dibidang sosial dan ekonomi.
Sesuai dengan coraknya yang “sekuler”, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenaranya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia, dan gerak-gerakan progresif dalam masyarakat modern.


2.5.2 Kelemahan Pragmatisme
Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolut (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara ilmiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu “dibikin” manusia sendiri, secra tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang trensendental. Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada sikap Ateisme.
Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materealis. Manusia berusaha secra keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhanyah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit materealisme.
Untuk mencapai tujuan materealisme, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal waktu hanya sekadar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
Dengan demikian, bahwa di Negara Amerika serikat atau seluruh dunia yang menganut paham filsafat John Dewey dan William James kebanyakan mengarah kearah materealis, ateis, dan dehumanis.Paham pragmatisme mendewakan akal. Padahal akal itu terbatas, maka hal inilah yang tidak disadari oleh pakar ilmuan barat, pada hakikatnya yang dilakuakn manusia pasti ada campur tangan tuhan.
2.9    Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dari kata dasar “existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya : “ex” keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi eksistensialisme adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Dalam membuat definisi eksistensialisme kaum eksestianlis tidak sama. Namun ada sesuatu yang dapat di sepakati oleh mereka. Yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Menurut metrealisme  manusia itu pada akhirnya adalah benda sama halnya seperti kayu dan batu. Memang, orang matreaisme tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda akan tetapi, matrealisme  mengatakan bahwa pada dasarnya, manusia adalah sesuatu yang materiil.
Eksistensialisme mengatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapid an pohon juga berada di dunia akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia, ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang di hadapinya. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu di antaranya manusia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti.apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar, barang-barang yang disadarinya disebut objek.
Lalu, dimana kesalahan matrealisme? Ren Le Senne seorang eksistensialisme, merumuskan kesalahan matrealisme itu secara singkat. Kesalahan itu ialah detotalisasi. De artinya memungkiri, total artinya seluruh, maksudnya, memungkiri manusia sebagai keseluruhan. Pandangan matrealisme itu akan membawa kosekuensi yang amat penting. Lahirnya eksistensialisme merupakan salah satu dari konsekuensi itu.
Di antara tokoh aliran eksistensialisme
2.9.1       Martin Heidegger
Menurut martin Heidegger, keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan ontology, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah menemukan arti keberadaan itu.
Keberadaan manusia, yaitu  berada di dalam dunia maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda yang disekitarnya. Sebenarnya benda-benda pada dirinya tidak mewujudkan dunia. Sebab benda-benda itu tidak dapat saling menjamah. Karena manusia berada didalam dunia, ia seibu dengan dunia, mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia dan sebagainya yang oleh Heidegger didalam kata “besorgen” (memelihara).
Menurut heiddegger, manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi ia dilemparka ke dalam keberadaan. Walaupun keberadaan manusia tidak mengadakan sendiri, bahkan merukan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas keberadaannya itu. Manusia harus mengrealisasikan kemungkinan-kemungkinanya, tetapi dalam kenyataanya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan manusia, yang timbul dari geworfenheid atau situasi terlemparnya itu.
Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya menghadapi hidup yang semu. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hati nya itulah, cara bereksistensi sebenarnya.
Karakteristik umum aliran ini di antaramya;
2.6.1       Eksistensi mendahului esensi
Pengertian ini bermakna bahwa manusia ditemukan, setelah itu ia mengakui sisi keistimewaan dan sifat-sifatnya. Oleh karena itu mereka menyebutkan bahwa manusia bukanlah eksistensi sempurna, bahkan manusia adalah tendensi (kecendrungan), usaha keras dan rencana.
2.6.2       Eksistensi Manusia
Eksistensi yang diperhatikan oleh filsafat Eksistensialisme pada tingkat pertama adalah Eksistensi manusia. Lawannya adalah Eksistensi zat, atau tegasnya wujud alam semesta. Dalam pandangan kaum Eksistensialisme setiap entitas bersifat murni sebagai alat-alat yang digunakan oleh manusia untuk merealisasikan segala potensinya.
2.6.3       Manusia Merdeka dan Bebas Memilih
Ia memilih apa yang mungkin bisa diwujudkannya diantara seluruh kemungkinan yang di berikan kepadanya. Ketika memilih manusia berani menempuh resiko karena ia bias masuk dalam kesuksesan atau kegagalan.
2.6.4       Eksistensi dan non Eksistensi
Resiko dan bahaya yang terus menerus mengancam alam Eksistensi menjadikan manusia merasakan nihilisme. Nihilisme adalah unsur subtansial dan orisinal dalam alam Eksistensi dan ketiadaan menyingkapkan dirinya pada keadaan gelisah dalam diri manusia.



[1] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka Setia, hlm. 333-334.