Penghijauan selama ini hanya terlaksana oleh lembaga negara dan
para pengusaha. Pelaksaan tersebut salah satu tanggung jawab mereka sebagai
manusia bertanggung jawab dan yang terekam pada umum. Tetapi mereka hanya
bagian kecil manusia peduli yang mendedikasikan diri demi makhluk bumi yang
mulai acuh dengan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, penghijuan tidak diartikan
sebatas reboisasi atau cagar alam, yakni segala hal yang menunjang kebaikan keseimbangan
bumi, dari hal sederhana yang minimal untuk keseimbangan diri sendiri.
Di bumi belahan lain, masih banyak makhluk peduli akan tetapi belum
tersalurkan kepeduliannya dalam “penghijauan”, salah satunya adalah santri.
Dari keseharian yang sederhana dan lebur dalam masyarakat yang berlatar
belakang pedesaan, terkadang muncul harapan ikut berperan menyumbang tenaga sebagai
bentuk tanggung jawab mereka sebagai makhluk yang dekat dengan alam.
Timbul pertanyaan, apa yang dapat disalurkan santri untuk penghijauan?
Apa saja yang menyokong semangat santri dalam pengpohonan? Sebagai agen of
religion yang berjiwa sosial dan berhati ‘hijau’, yang kemudian bisa lebih
membantu bangsa dalam mengembalikan semangat masyarakat peduli ‘hijau’ dari
kedekatan dan pengaruh santri di masyarakat.
Islam ‘hijau’
Islam adalah din (deen)-agama , jalan, dan atau cara hidup.
Arti yang terkandung dalam kata islam yakni kepasrahan terhadap kehendak
Alah yang Maha Esa. Sama dengan kata Dios dalam bahasa spanyol. Manusia
yang beraga islam disebut dengan muslim, muslimin meykini bahwa agama ini
adalah risalah terakhir yang diturunkan Allah sebagai penyempurna agama-agama
sebelumnya, dari segi ajaran –baik sosial, ekonomi, pengetahuan, dll.- dan
disertai kandungan yang lebih luas daripada agama sebelumnya.(Abdul Djamali,
1992: 9)
Disini tidak akan menjelaskan kandungan yang lebih lebar tentang
kandungnnya akan tetapi lebih fokus dititik kepedulian terhadapa alam dan
perhatian kerusakannya. Sebagai rujukan pokok Al-Quran dan sabda baginda besar
Nabi Muhammad Saw. yakni Hadits. Penggalian keduanya dari sudut pandang
kesejahteraan alam.
Terkait hal itu, umat islam mengikuti prinsip etis dalam hubungan
mereka dengan alam. Prinsip yang didasarkan atas kesadaran menjalankan islam
seraya menjalankan berkomitmen kepada lingkungan. Enam prinsip itu adalah,
1. Memahami
kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid)
Hidup dengan cara agama hijau,
berarti faham tentang makhluk yang berasal dari allah. rujukannya pemahaman ini
pada ayat 3. Dialah yang Awal dan
yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin[1452]; dan dia Maha mengetahui segala
sesuatu.(Q.S. al-Hadid [57]: 3)
muslim faham ayat tersebut dan
merenunginya, melihat yang paling terkecil ataupun terbesar yang dibuktikan
oleh pengetahuan, semuanya itu ekspresi dari Tuhan dan ciptaan-Nya. Yang
seluruhnya terdiri dari hal terkecil dari yang tak dapat dibagi dan memiliki
keterkaitan antar sesama. Hal tersebut menunjukkan kekuasaan-Nya. Maka dari
itu, muslim hijau harus faham keterkaitan tersebut karena oleh tuhan yang sama
dan ketersalingikatan antar makhluk-Nya.
2. Melihat
tanda-tanda tuhan (ayat) diseluruh
semesta
“Tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” frasa ini banyak terdapat dalam
al-Quran, di mana manusia yang berpikirlah yang dapat menjangkau kebenaran
eksistensi Alah Swt. alam yang megah dan seluruh isinya berlangsungkan oleh-Nya
dengan sempurna, namun bukan berarti kerusakan jawab ini tanggung jawab-Nya.
Kerusakan alam menjdi konsumsi dan penikmatnya yakni manusia. Kembali hal tadi,
hanya manusia yang berpikir yang mencetak kesadaran hijau.
Kenapa
yang berpikir? Ketika manusia berpikir mendalam tentang alam, pasti mendapat
dua pokok yang terdapat pada sisi lain dari
alam yakni penciptanya dan prosesnya. Dalam proses alam tersebut menuai
hal positif dan negatif, yang perlu dikembangkan dan dijaga, inilah hasil kecil
dari berpikir alam sebagai tanda-tanda Allah.
3. Menjadi
penjaga (khalifah) bumi
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi”. Kutipan ayat tersebut bukti bahwa Allah telah mendelegasikan
manusia sebagai pemegang kekuasaan di bumi. Pemegangan tersebut mencakup
mengembngkan dan menyelesaikan persoalan-persoalan bumi. kebijaksanaan Allah
menumpukan hal tersebut karena manusia adalah konsumtif terbesar dipermukaan
bumi, yang telah allah sediakan untuk manusia yang bersandang khalifah.
Peran muslim hijau, mengembalikan
arti khalifah yang sebenarnya. Pemimpin alam dari segala musuh yang
menyerang dan memperbaiki dari kerusakan yang dipimpinnya, keutuhan dari
seluruh bagian alam dan simbiosis mutualisme-nya.
4. Menghargai
dan menunaikan kepercayaan (amanah)
Mencontoh
sifat nabi yang amanah, atau dapat dipercaya. Perawatan alam adalah yang
diamanahkan Allah kepada manusia untuk dijaga dan dikelola dengan
sebaik-baiknya. Dan dapat mengambil hasil bumi dengan sebesar-besarnya akan
tetapi amanah ini tidak begitu mudah, tidak semua memegang amanahnya dengan
benar yang lebih mementingkan kepuasan diri dan buta realita efeknya.
Muslim
hijau, selain contoh bijaksana, juga menjadi pengkaji pertama dan pengawal
pertama yang ada pada alam bumi ini. Sebagai penyeimbang para manusia yang
hanya bisa merusak tnpa tanggung jawab. Ketika amanah telah dipegang erat
kepercayaan Allah akan tetap dan makin menunaikan dari yang diinginkan muslim
tersebut.
5. Memperjuangkan
keadilan (‘adl)
Manusia
adalah pancaran sifat Tuhan, semisal ‘adl. Sifat pokok ini yang dipegang
erat pemimpin yang bijaksana yang menciptakan keputusan yang bijaksana pula.
Adil dalam lingkungan berarti ramah dengan alam menolong jika kerusakan.
Karena
Allah yang paling bersifat adil dan Dialah yang paling mencintai keadilan.
Rahmatnya akan selalu disalurkan pada manusia
yang adil melalui alam yang dikasihinya. (Sayid Sabiq, 1994: 109) Tindakan
hijau adalah keadilan yang utuh yang diaplikasikan pada alam.
6. Hidup
selaras dengan alam (mizan)
Inti
kehidupan manusia berpusat pada kebutuhan besar yang seluruhnya tersedia pada
alam. Allah telah memberi contoh segala keseimbangan dan kehebatannya pada
alam, manusia hanya memelajari dan mengaplikasikan kembali pada alam pula. Alam
menjadi guru sekalian objek utama yang paling ringan dan tersulit. Dari alam terdapat kemanfaatan
dan juga terdapat potensi keburukan
terbesar.
Muslim
hijau, dalam tindakan kesehariannya menyelaraskan hati, tindakan, tindakan, dan
kemanfaatan, dalam sudut pandang sekarang tertuju pada kasih sayang dan rasa
menghargai terhadap alam dan seisinya.
Membangun kepedulian ‘hijau’
Kepedulian awal umumnya santri dibangkitkan dari tiga faktor utama,
yakni
1.
Teks agama islam
Santri yang biasa dikatakan makhluk sami’na wa atho’na (patuh)
atau makhluk kitab suci, menggambarkan kepatuhannya secara total pada
Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Kutubul Ulama, baik tekstual dan kontekstual.
Namun disalah pahami jikalau santri umumnya mengartikan teks suci sebatas
syariat, ibadah, dan ketuhanan. Yakni mendominasikan arti tersebut dalam
kesehariannya, walaupun itu tidaklah salah.
Dari hal itu, dimulai dari rasa kepedulian yang didukung sisi lain
dari teks agama yang kurang terjamah dari pemahaman pengetahuan santri, yakni
sosial dan dalam hal ini ‘peduli hijau’ atau peduli penghijauan alam. Jika
pengetahuan pembahasan dalam keilmuan pesantren diluaskan dalam tekstual suci
tentang penghijauan atau perawatan alam, sangat begitu banyak yang mendukung
keberlangsungan alam sebagai salah satu agen of rahmatan lil alamin.
Untuk konteks kerusakan alam yang telah diperbuat manusia, telah
jauh hari diungkap dalam Al-Qur’an: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena
perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Q.S. al-Rum [30]: 41).
Ayat tersebut gamblang menujukkan kepada kita -terutama santri-
permasalahan di permukaan bumi dan diperlukan tindakan ke depan, bentuk
penanggulangan dan perbaikan oleh kalifah fi al-ardh (manusia).
Permasalahan yang menjadi tanggung jawab bersama untuk kepentingan semua.
(Ibrahim Abdul-Matin, 2012: 28)
Masih terdapat banyak lagi, tekstual suci yang secara kontekstual
mengharuskan manusia ikut andil peduli alam, dan terutama umat Islam –khususnya
kaum santri- sebagai pemegang teks suci agama Islam yang memiliki kebenaran
mutlak.
2.
Lingkungan pesantren ‘hijau’
Sangat banyak lingkungan pesantren besar yang bertatanan lingkungan
berantakan, acuh kebersihan minim pepohonan. Sebagai lingkungan yang menjadi
tempat berdomisili santri, lingkungan –interaksi manusia, bangunan, tatanan
sosial- pesantern harus dibingkai dengan kesadaran awal untuk mengubah diri
santri.
Bingkai tersebut dimulai dari sebuah aturan yang tidak bersifat membebani,
seperti mewajibkan setiap santri menanam satu pohon dalam lingkungan pesantren
atau bisa dengan menata lingkungan yang bersih dan asri. Langkah tersebut
menjadi jalan awal menciptakan prinsip dasar santri akan menghargai keindahan
alam dari efek yang merusaknya.
Menciptakan bangunan dan lingkungan yang penuh kekayaan alam yang
disertai dengan slogan-slogan manis tentang cinta alam. Dari terbiasa menjadi
kebutuhan yang dapat menghantarkan santri yang berjiwa ‘hijau’ dan peduli
lingkungan.
3.
Pengasuh/kyai ‘hijau’
Dalam dunia pesantren sangat dipengaruhi oleh para pengasuh atau
kyai yang memimpin dipesantren. Di mana setiap tutur dan nasehat menjadi
doktrin penting bagi seluruh santri. Memanfaatkan peran tersebut, kyai memiliki
peluang besar dalam memengaruhi santri dari apa yang diinginkannya. Maka dari
itu, tutur kyai menjadi lidah yang tepat menyalurkan cinta lingungan dalam
membentuk santri ‘hijau’ dari pikiran, rasa, dan tindakan.
Akan tetapi, masih tidak sedikit para kyai pengasuh pesantren kurang
menegaskan hal penting ini. Fakta ini sangat disayangkan, karena penilaian
zaman milenium sekarang, makhluk yang bermanfaat adalah makhluk yang
menyelesaikan suatu persoalan yang tengah dihadapi manusia sekarang, untuk
mengangkat nama pesantren manfaat kyai perlu diangkat kembali kepedulian
lingkungan melalui tangan-tangan santri ‘hijau’
4.
Organisasi yang digeluti mayoritas
santri, yaitu NU ‘hijau’
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, NU mempunyai peran besar
dalam menunjang kecintaan mayoritas umat bangsa ini akan cinta
‘hijau’(lingkungan). Apalagi, NU ditompang oleh kaum sarung yang berdasi, yang
dari lidahnya anggota NU siap bertindak.
Fokus peran NU akan ‘hijau’ lebih dikerahkan bagi kaum muda-IPNU,
IPPNU, GP-ANSOR-yang kelak menjadi kader penerus bangsa dan generasi pembawa
‘NU’ yang ‘HIJAU’. Walaupun tidak hal yang mudah, peluang ini menjajnjikan
kesejahteraan universal sebagai lembaga rahmatan lil alamin.
Peluang ini, dapat dikembangkan melalui lembaga pendidikan yang
berlebel ‘NU’ sebagai pencerah dan nasehat demi dedikasi bangsa untuk negara,
bahkan dunia. Selain itu, dapat diawali oleh nama pemegang NU terkemuka, yakni
para ulama, sarjana, santri, dll.
Jika semangat ini telah di-iya-kan atau bahkan diapresiasi penuh
oleh NU, akan dapat menjadi ujung tombak dari kemauan para kaum sarung
-terutama santri- yang sebelumnya hanya dikiaskan buta alam.
Pesona warga sarung berhati ‘hijau’
Output kesadaran kolektif tentang lingkungan, membuktikan warga NU
khususnya santri memiliki kepekaan mendalam terhadap alam dari inti keber-agama
islam-an santri yang mengamalkan kontekstualnya untuk peran makhluk sosial. Pengaruh
baiknya yang murni terkerahkan pengmalan dan penglaman keilmuan Islam yang
murni.
Dan pada akhirnya, Pengerahan
tersebut menutupi anarkisme fundamentalisme yang ‘tak menghangat mendingin’,
mengganti kefanatikan ego menjadi kelenturan rasa. Dimulai dari kepedulian yang
terkecil bertahap menuju yang super social. Menyelesaikan persoalan dari
jalan lain yang melintang adanya.
Inilah harapan Islam, Nabi bersabda “Sayangilah yang ada di bumi niscaya semua yang ada di
langit akan menyayangi kalian”. Menanam, menjaga, merawat, dll. Adalah bukti khidmat atau ibadah lain untuk
mendekat dan berharap rahmat yang sebenarnya.
Semuanya bukanlah mimpi tapi masih menjadi gagasan suci yang lama adanya.
Persoalan akan selamanya menjadi masalah, dan permasalah terbesar adalah alam
yang akan diwariskan kepada anak dan cucu manusia hingga berakhirnya masa.
Santri merupakan tokoh yang sekarang memiliki kedekatan lebih dengan masyarakat
Indonesia, dan karena Indonesia paru-paru dunia, maka dari itu dunia berharap
melalui santri untuk mewarnai persepsi keilmuan untuk kemanfaatan yang
universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar